
Jakarta, innews.co.id – Keseriusan advokat Benny Wullur menantang Hotman Paris Hutapea, terjawantahkan dengan surat yang ia layangkan langsung ke pemilik acara HotRoom di salah satu televisi swasta tersebut.
“Saya menantang tinju rekan Hotman Paris. Berani tidak untuk melakukannya di atas ring tinju?” kata Benny Wullur, kepada media di Kawasan SCBD, Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Menurutnya, tantangan kepada Hotman Paris tidak hanya sebatas di atas ring tinju saja, tapi juga adu otak dalam perkara hukum terkait sengketa tanah Menteng 37.
Mafia tanah
Benny menjelaskan, dalam kasus sengketa tanah di kawasan elit Menteng tersebut, Hotman Paris adalah pengacara PT Bangun Inti Artha, lawan Benny, kuasa hukum dari Hendrew Sastra Husnandar (HSH).
Dia menguraikan, pada 12 Juli 2007, terjadi transaksi jual-beli tanah antara HSW (pembeli) dengan Ikatan Wanita Kristen Indonesia (IWKI/penjual) di Jalan Menteng Raya No. 37 dengan Hak Guna Bangunan (HGB) bekas Eigendom Nomor: 19766.
Selanjutnya, pada 12 September 2007, objek tanah dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dari penguasaan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan diserahkan kepada IWKI sebagaimana Penetapan No:025/2003.Eks tanggal 7 September 2007 perihal Berita Acara Eksekusi Pengosongan No:025/2003.
Di tengah proses eksekusi yang tidak berjalan mulus, sambung Benny, tiba-tiba muncul PT Wijaya Wisesa Realty (WWR) yang mengklaim haknya terhadap tanah Menteng 37. Ia mengatakan PT WWR ini telah membeli tanah objek tanah tersebut dari PT NHT melalui proses lelang. Sementara PT NHT membeli tanah tersebut dari PGI.
Benny menilai lelang tersebut sangat janggal karena pemegang saham PT WWR sebagai pemenang lelang, sebagian besar sama dengan yang ada di PT NHT.
“Perlu diketahui PT WWR telah pula mengalihkan tanahnya kepada PT Bangun Inti Artha, di mana Pemegang Saham dari PT Bangun Inti Artha merupakan sebagian besar pemegang saham di PT Wijaya Wisesa dan PT Nirwana Harapan Tunggal,” bebernya.
“Proses lelang berjalan janggal karena atas tanah tersebut tidak pernah dipasang Hak Tanggungan, dan terjadinya lelang melalui lelang sukarela dan prosesnya terjadi hanya dalam satu hari,” tuturnya.
Dugaan adanya permainan mafia tanah menguat. Pun diduga ada permainan mafia peradilan. Menurut Benny, itu bisa dilihat begitu sulitnya proses eksekusi tanah Menteng 37 yang sudah dimiliki kliennya. Bahkan perkara perdana yang telah diputuskan di PN Jakarta Pusat, kata dia, secara sepihak telah dibatalkan oleh pihak panitera.
“Seumur-umur berperkara di pengadilan, baru kali ini saya temukan putusan yang sudah inkrah bisa dibatalkan hanya oleh panitera dengan alasan terlapor ganti kuasa hukum yang baru,” seru Benny.
Tidak sampai disitu saja, lanjut Benny, kliennya (HSH), juga dikriminalisasi dengan laporan pidana di Polda Metro Jaya dari Budiman selaku Direktur PT Wijaya Wisesa, serta dari pihak yang sama di Bareskrim Polri.
“Untuk perkara di Polda Metro Jaya sudah keluar Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Nomor: B/7729/V/RES.1.9/2020/Direskrimum tertanggal 30 April 2020, karena dinilai tidak cukup bukti. Sementara untuk pengaduan di Mabes Polri masih berlanjut. “Penetapan Bapak Hendrew menjadi tersangka merupakan bentuk kriminalisasi,” tandasnya.
Benny berharap semua pihak yang terkait dapat menanggapi tantangan dan dugaan yang telah disampaikan dengan serius demi keadilan dan kebenaran.
Dirinya menegaskan, pihaknya akan terus memperjuangkan hak-hak klien dan berkomitmen untuk mengungkapkan kebenaran dibalik sengketa tanah Menteng 37 ini,” tegasnya. (RN)
Be the first to comment