Ahli Gizi Undip: “Layakkah Eijkman Disebut Embahnya Gizi Indonesia?”

Prof. Soekirman (86 tahun), seorang begawan dan pakar gizi paling senior di Indonesia saat ini

Jakarta, innews.co.id – Selama ini orang hanya mengenal nama Poorwo Soedarmo, yang disebut-sebut sebagai Bapak Gizi Indonesia. Ternyata, Prof. Soekirman (86 tahun), seorang begawan dan pakar gizi paling senior di Indonesia saat ini, mengungkap hal berbeda.

“Menurut Prof Kirman, ada tiga nama yang layak disebut embahnya gizi di Indonesia yakni, Christiaan Eijkman, Poorwo Soedarmo, dan Widjojo Nitisastro,” kata Fahmy Arif Tsani, ahli gizi sekaligus dosen di Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dalam keterangan persnya, Jum’at (7/10/2022).

Dirinya mengaku terkejut tatkala Prof Kirman–sapaan akrab Soekirman menyebut tiga nama itu dalam seminar yang digagas oleh Asosiasi Pendidikan Vokasi Gizi Indonesia (AIPVOGI), secara daring, yang diikuti sekitar 1.000 peserta itu, Rabu (5/10/2022). “Saya terkejut sekali dengan uraian Prof Kirman. Pun saya baru tahu bahwa Eijkman ternyata orang pertama yang melahirkan ilmu gizi modern dunia tahun 1930 yang dimulai di Batavia, dengan ditemukannya vitamin pertama yang diberi nama thiamin atau Vitamin B1.

Dalam diskusi tersebut, Prof Kirman menguraikan, pentingnya belajar sejarah perkembangan suatu ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan pendapat August Comte, filsuf Perancis yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Dunia. August mengatakan bahwa mendalami suatu ilmu pengetahuan sangat perlu dipelajari sejarah perkembangannya. Dengan mempelajari sejarah, kita akan tahu bagaimana suatu teori itu terbentuk dan siapa yang menginisiasinya. Tanpa mempelajari sejarah, ilmu pengetahuan akan kehilangan arah, begitu kira-kira.

Prof Kirman, sambung Fahmy, mengisahkan Christiaan Eijkman (1858-1930) adalah seorang ilmuwan Belanda yang lekat dengan Indonesia. “Dari Eijkman lah ilmu gizi modern dunia yang dimulai di Batavia atau Jakarta sekarang,” ujar Prof Kirman. Pada 1883, Eijkman datang dan bekerja sebagai seorang dokter muda. Dia ditunjuk menjadi staf tim peneliti beri-beri yang kala itu melanda Hindia Belanda. Teori yang ada waktu itu mengatakan beri-beri disebabkan oleh bakteri. Eijkman tidak percaya begitu saja.

Dari pengamatan Eijkman terhadap sekelompok ayam, akhirnya terungkap penyebab penyakit beri-beri. “Eijkman mengamati banyak ayam percobaan mati yang terindikasi mirip penyakit beri-beri. Namun, ada beberapa ayam di kandang lain kondisinya sehat. Setelah dicek, ayam yang sehat itu diberi makan beras tumbuk. Sementara ayam-ayam yang mati itu diberi beras putih. Eijkman beranggapan berarti ada faktor protektif dari pakan beras tumbuk terhadap kejadian beri-beri,” papar Prof Kirman.

Eijkman dibantu oleh asistennya dokter Vonderman mengembangkan penelitian. Penelitian ia lakukan terhadap para tahanan di beberapa penjara di Jawa. Hasilnya menakjubkan, para tahanan yang makanan ransumnya berupa beras tumbuk lebih tahan terhadap wabah beri-beri.

Dari penelitian ini, sambung Prof Kirman, ditemukan penyebab beri-beri yaitu, kekurangan zat gizi penting pada kulit ari beras tersebut, yang kemudian dikenal sebagai thiamin (Vitamin B1).

Dikatakannya, penemuan besar ini mengantarkan Eijkman memperoleh Nobel Kedokteran tahun 1929, setahun sebelum kematiannya.

“Penemuan Eijkman diakui sebagai lahirnya ilmu gizi modern dunia awal abad ke-20. Penemuan vitamin pertama itu terjadi di Batavia (Jakarta). Untuk menghormati jasa Eijkman, Lembaga Penelitian Kedokteran yang didirikan Belanda untuk meneliti penyakit beri-beri tahun 1888 diberi nama Lembaga Eijkman, 1938. Lembaga ini mendirikan “Instituut Voor Volksvoeding (IVV) yang meneliti aspek pangan, kesehatan, dan gizi rakyat pedesaan. Lembaga Eijkman dengan IVV-nya tahun 1945 diserahkan kepada RI dibawah Kementerian Kesehatan.

Tokoh gizi kedua yang disebutkan adalah Poorwo Soedarmo (1904-2003). Oleh Menteri Kesehatan kala itu, dr. J. Leimena, Prof Poorwo ditunjuk sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakyat (LMR). LMR ini sejatinya adalah metamorfosa dari IVV yang didirikan Eijkman sebelumnya. Bedanya, IVV berada di bawah Pemerintah Belanda, sedang LMR sudah dibawah Kementerian Kesehatan RI yang kemudian menjadi Direktorat Gizi dengan Pusat Penelitiannya di Bogor. “Melalui LMR, Prof Poorwo mendirikan Sekolah Ahli Diet tahun 1953 yang ditingkatkan menjadi Akademi tahun 1956, yang dikenal sebagai Akademi Gizi.

Prof. Soekirman adalah alumni angkatan kedua tahun 1960 dari Akademi tersebut. Ini membuat Prof Kirman tidak hanya mengenal keilmuan tokoh pencetus ‘Empat Sehat Lima Sempurna’ ini, tetapi juga dekat dan berinteraksi secara langsung.

Menurut Prof Kirman, mengutip buku biografi “Gizi dan Aku”, Prof Poerwo terinspirasi mendirikan sekolah gizi setelah membaca koran asing dalam pelayaran ke Belanda, tahun 1950-an yang memberitakan bahwa di Indonesia jajahan Belanda banyak orang kelaparan dan kurang gizi. Tingkat kesehatannya salah satu yang terburuk di dunia. Sejak itu Prof. Poerwo mempelajari ilmu gizi dengan mengikuti kuliah-kuliah pendek di beberapa negara.

Sekolah gizi yang didirikan Prof Poorwo, yang disebut diatas itu nantinya menjadi cikal bakal institusi pendidikan gizi di Indonesia. Meski Prof Poorwo bukan orang ‘asli’ gizi, namun kreatif dalam mengembangkan keilmuan dan pendidikan gizi serta mengintegrasikannya dengan keilmuan lain,” ujarnya.

Para penerus selanjutnya antara lain, alm. Prof Darwin Karyadi, alm. Prof. Muhilal, alm. Dr. Ignatius Tarwotjo, dan Prof Soekirman.

Nama yang terakhir adalah Widjojo Nitisastro (1927-2012). Beliau adalah seorang begawan dan arsitek pembangunan ekonomi nasional Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru. Menurut Prof. Kirman, Prof. Widjojo adalah pimpinan Bappenas pertama yang memasukkan program gizi sebagai bagian dari Repelita.
Dalam Repelita masalah gizi tidak hanya masalah kesehatan tetapi juga menjadi bagian dari pembangunan manusia yang lebih luas. Prof. Kirman menyebut beberapa jurnal gizi internasional tahun 1980-an yang melaporkan cerita sukses Indonesia mengurangi masalah kurang gizi, kecuali anemia, melalui Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dengan Posyandunya. Dengan modal kisah sukses itu menurut Prof. Kirman beberapa publikasi internasional antara lain dari Bank Dunia menulis dengan semangat tinggi (aiming high) optimis Pemerintah akan dapat mencapai sasaran program penurunan stunting.

Materi kuliah Umum Prof. Kirman ini telah diterbitkan di Jurnal Gizi Dunia – World Nutrition Journal Maret 2022 dengan judul “Institution Building and Leadership in Nutrition in Indonesia – a Historical Notes”.

Uraian yang disampaikan Prof Kirman ini, memperkaya para pakar dan pemerhati gizi era sekarang, tentang bagaimana ilmu ini bermula dan berkembang. Ada lagi, bahwa founding fathers gizi di Indonesia tidak hanya Poorwo Soedarmo. Beliau tidak sendiri. Jadi, kalau selama ini Poorwo Soedarmo dikenal sebagai Bapak Gizi, apakah boleh, misalnya, Eijkman kita anggap sebagai simbahnya gizi Indonesia? (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan