Ajak Milenial Gunakan Akal Sehat, Praktisi Hukum: Nepotisme Ciderai Demokrasi

Praktisi Hukum, Johannes Tobing (kanan) bersama Cawapres, Gibran Rakabuming Raka

Jakarta, innews.co.id – Penegakkan hukum di Indonesia bukan saja jeblok, tapi bisa dikatakan nyaris di titik nadir. Perlakuan spesial dari Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya yang mensahkan seorang anak Presiden RI maju sebagai calon wakil presiden (Cawapres), ternyata oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai bentuk pelanggaran kode etik berat.

“MK itu dikenal dengan the guardian of contitution (penjaga Konstitusi). Tapi justru di MK juga konstitusi ditabrak, demi kepentingan sepihak. Harusnya ini menjadi koreksi bersama untuk secara jujur menilai bahwa penegakkan hukum sudah diobrak-abrik oleh MK,” kata praktisi hukum, Johannes Tobing, SH., MH., kepada innews, di Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Karena itu, baginya tidaklah aneh bila muncul skor 5 pada penegakkan hukum dari skala 1-10, seperti dikatakan Capres Ganjar Pranowo dalam Sarasehan Nasional Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Negeri Makassar (UNM), Sabtu (18/11/2023) lalu. “Sebenarnya sudah cukup baik dikasih nilai 5,” cetusnya datar.

Ketua DPC Peradi Jakarta Timur ini beranggapan, kalau Amerika Serikat dikenal sebagai Negeri Paman Sam, maka di Indonesia ada Paman Usman (mantan Ketua MK), yang rela mempertaruhkan jabatannya hanya untuk meloloskan keponakannya jadi Cawapres. “Kalau mungkin yang jadi Cawapres dari generasi muda itu orang lain, mungkin orang tidak terlalu berpersepsi macam-macam. Tapi ini kan kontras terlihat, sehingga pengistilahan MK sebagai Mahkamah Keluarga pun mencuat,” imbuhnya.

Pemecatan Anwar Usman sebagai Ketua MK, tidak lantas menetralisir keadaan. “Penegakkan hukum sudah tercoreng. Menghalalkan segala cara telah menjadi stigma buruk bagi Indonesia di mata internasional. Nama Jokowi yang selama ini begitu harum sampai ke mancanegara menjadi terjerembab hanya karena dugaan nuansa ‘patgulipat’ dibalik putusan MK ini,” seru Johannes.

Dirinya menambahkan, di berbagai belahan dunia ada ratusan negara besar. Namun, hal ini hanya terjadi di Indonesia.

Bila ditelisik lebih jauh, saat Sang Ayah menjadi Presiden, ada red carpet bagi anaknya untuk jadi ketua umum parpol, menantunya jadi pemimpin daerah, bahkan anaknya yang lain diusung sebagai cawapres. Tapi dibalik itu, pamannya harus dipecat karena melakukan pelanggaran kode etik berat.

Bahkan, kabar berhembus, anak yang jadi ketua parpol itu mau dimajukan sebagai calon Gubernur DKI. Pun kuat dugaan si mantu akan diusung sebagai calon Gubernur Sumut.

Ditanya bila itu terjadi, Johannes mengaku miris. “Negara kita kan menganut sistem presidensial, tapi kok faktanya seperti kerajaan?” sergahnya.

Bahkan cita-cita luhur reformasi, yang salah satunya untuk menghilangkan nepotisme, kini justru terkesan coba dihidupkan kembali.

Johannes meminta kaum milenial untuk coba berpikir jernih. “Mari kita menggunakan akal sehat, nepotisme dan politik dinasti sangat menciderai semangat demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan