Alam Prawiranegara: “Pemikiran Terlalu Dangkal, Arteria Dahlan Layak di PAW”

Nur Setia Alam Prawiranegara Ketua Umum Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC)

Jakarta, innews.co.id – Permintaan Arteria Dahlan Anggota Komisi III DPR RI untuk memecat jaksa yang berbicara dalam bahasa Sunda di persidangan, dinilai sebagai bentuk kedangkalan berpikir dan kurangnya pemahaman akan tugas dan fungsi sebenarnya sebagai wakil rakyat.

“Seharusnya Arteria Dahlan memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota dewan. Selaku Wakil Rakyat, dia harusnya mampu menjaga kerukunan bangsa serta membuat ketentuan yang memahami sosiologi, agama dan budaya yang berada di masyarakat,” ujar advokat Ibu Kota Nur Setia Alam Prawiranegara, yang juga keturunan Sunda Garut, kelahiran Kota Bandung Jawa Barat, dalam keterangan resminya yang diterima innews, Rabu (19/1/2022) malam.

Dikatakannya, kalau mau cari sensasi boleh saja, untuk eksistensi diri. Tetapi yang dibahas harus yang pas, bukan mengenai hal yang sudah ada ketentuan bakunya. “Sebagai Anggota Dewan, seharusnya mengetahui aturan hukum bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara,” terangnya.

Teh Alam–sapaan akrab Alam Prawiranegara menambahkan, dalam Pasal 12 UU No 16/2004, terkait pemberhentian jaksa jelas menyatakan Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus, telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun, meninggal dunia dan tidak cakap dalam menjalankan tugas.

Dia juga menerangkan, dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, dan Pemberhentian Sementara, serta Hak Jabatan Fungsional Jaksa Yang Terkena Pemberhentian, menyatakan, Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan: dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, melanggar larangan perangkapan jabatan/pekerjaan, melanggar sumpah atau janji jabatan, atau melakukan perbuatan tercela.

Sikap kritis Arteria, sambung wanita cantik kelahiran Bandung, 25 April 1977 ini, menunjukkan betapa dangkalnya pemikirannya untuk menilai seseorang yang berbahasa daerah, sekalipun itu di ruang sidang. “Terlalu berlebihan dan terkesan arogan sampai harus dipecat. Akan ada berapa banyak warga negara Indonesia sebagai pegawai harus dipecat dari pekerjaannya jika menggunakan bahasa daerah. Padahal, itu sesuatu yang natural saja,” tutur salah satu pendiri Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) ini.

Saya saja, lanjutnya, sudah hampir tiga bulan berada di Malang, harus mendengar pegawai berbahasa Jawa. Saya hanya meminta diterangkan kembali ke Bahasa Indonesia sambil belajar Bahasa Jawa, bukan minta memecat orang tersebut.

“Ada peribahasa ‘Dimana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung’. Maknanya jelas bahwa seseorang sudah sepatutnya mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di tempat tinggalnya. Belum lagi, harus diingat, tutur Teh Alam, bahwa Indonesia itu ada merupakan gabungan dari daerah-daerah yang sejak awal sudah memiliki kearifan lokal masing-masing, termasuk bahasa daerah.

“Bagi saya, yang layak dipecat atau di PAW itu adalah Arteria Dahlan, karena tidak memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota Dewan,” pungkas Wakil Sekretaris Publikasi, Humas, dan Protokoler DPN Peradi ini. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan