Jakarta, innews.co.id – Sekelompok akademisi yang menamakan diri sebagai Aliansi Akademisi Indonesia (AAI), oleh banyak media disebut ‘turun gunung’, bertindak sebagai amicus curiae dalam persidangan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Mereka bahkan secara khusus menyurati ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menangani perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dan meminta agar hukuman terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E diperingan, lantaran dirinya telah berperan sebagai justice collaborator.
Istilah amicus curiae ini juga dikenal sebagai ‘friends of court’ atau ‘sahabat pengadilan’.
“Amicus curiae adalah bentuk pertemanan atau perkoncoan dengan lembaga peradilan. Bila tidak dalam kondisi menangani perkara, bisa-bisa saja. Tapi ketika hakim menangani suatu perkara, pertemanan jelas sangat tidak diperbolehkan. Ini sangat bertentangan dengan kemandirian pengadilan,” kata Prof Gayus Lumbuun pakar hukum sekaligus Hakim Agung RI 2011-2018, ketika dimintai komentarnya terkait munculnya AAI yang mengklaim dirinya sebagai friends of court, khususnya dalam perkara pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Bharada Richard Eliezer, di Jakarta, Minggu (12/3/2023).
Dengan tegas Gayus mengatakan, lembaga peradilan harus independen, imparsial, dan steril dari pertemanan dalam berbagai bentuknya. “Tidak boleh ada pertemanan dalam bentuk apapun, terutama saat menangani sebuah perkara,” tandasnya.
Dengan kata lain, lembaga peradilan dan hakim harus bersih dari yang namanya friends of court.
Apalagi bila dalam pertemanan itu ada upaya-upaya untuk mempengaruhi hakim dalam membuat putusan. Seperti menyurati hakim dan meminta terdakwa, baik yang tujuannya meringankan atau memberatkan.
“Menyurati hakim terkait substansi suatu perkara adalah bentuk intervensi terhadap lembaga peradilan. Hal tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu jalannya peradilan,” tegas Prof Gayus.
Dia menilai, tidak boleh ada pihak-pihak yang dengan sengaja coba mempengaruhi majelis hakim dalam menangani suatu perkara. Itu bentuk penyimpangan terhadap lembaga peradilan.
Seorang hakim, lanjutnya, harus independen, imparsial, dan steril. “Dalam memutus suatu perkara, hakim memiliki tiga pertimbangan yakni, kebenaran yuridis, kebenaran sosiologis, dan kebenaran filosofis. Setelah mempertimbangkan ketiga hal tersebut, baru hakim bisa memberikan putusan,” ujar Prof Gayus.
Dijelaskan, kebenaran yuridis bahwa bisa dipastikan hukum itu benar. Karena dalam proses pembuatannya pun banyak pihak telah dilibatkan, termasuk kalangan akademisi. Biasanya dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR RI ketika membuat suatu produk undang-undang, dibahas naskah akademik yang berasal dari berbagai kampus. Lalu, kebenaran filosofis terkait kearifan dari hakim untuk melihat pelaku dan duduk perkara. Sedang kebenaran sosiologis, hakim akan mengacu pada perkembangan di dalam masyarakat. “Bisa saja diberi masukan, tapi bukan dalam bentuk intervensi atau upaya mencampuri hal-hal yang menyangkut substansi perkara,” jelas Anggota DPR RI periode 2004-2014 ini.
Bicara soal aksi para Guru Besar ‘turun gunung’ meminta hakim memberi keringanan hukuman terhadap Bharada E, Gayus dengan gamblang mengatakan, ada adagium yang menyatakan, fiat justicia et pereat mundus (meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan), atau fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh). Dan, lex dura sedtamen scripta (hukum adalah keras, dan memang itulah bunyinya atau keadaannya, semua itu demi kepastian di dalam penegakannya).
“Jangankan ‘turun gunung’, langit dan dunia runtuh pun, hukum harus tetap ditegakkan. Ini yang harus menjadi pegangan para hakim. Hukum tidak bicara soal permintaan seorang atau kelompok, tapi hukum tetap hukum yang harus ditegakkan berdasarkan tiga pertimbangan yang mengandung kebenaran tadi,” tegas Prof Gayus.
Dirinya menilai, harusnya para Guru Besar yang mengklaim sebagai ‘friends of court’ tersebut memahami eksistensi dan filosofi hukum yang sebenarnya. Tidak mencampuradukkan emosi atau perasaan yang bisa mengganggu independensi dan imparsial pengadilan.
Meski begitu, Prof Gayus menilai, para Guru Besar yang ‘turun gunung’ itu sejatinya berniat menyuarakan keadilan yang merupakan bagian dari social justice. “Sebenarnya gak perlu pakai-pakai istilah kuno amicus curiae. Bilang saja gerakan social justice, kan justru terkesan lebih intelektual,” imbuhnya.
Demikian halnya dalam menyurati hakim, bagi Gayus, tidak perlu harus seperti itu kalau kita benar-benar memahami dunia hukum. “Silahkan kalau ingin menyuarakan social justice, tapi jangan coba-coba mempengaruhi apalagi menekan hakim dalam membuat putusan baik dengan tujuan meringankan atau memberatkan dalam suatu perkara,” serunya.
Sebab bisa jadi pihak luar akan menilai bahwa peradilan di Indonesia mudah diintervensi. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi peradilan di Indonesia.
Diingatkan pula, tidak perlu memiliki prejudice (prasangka) yang aneh-aneh. “Biarkan hakim bekerja dan memutuskan perkara sesuai pertimbangan dan kebenarannya. Dan lagi, ini baru pengadilan tingkat pertama,” tandas Gayus.
Kembali soal amicus curiae, Gayus berkeyakinan, para akademisi sudah pasti memahami bahwa dalam menangani perkara tidak boleh ada pertemanan atau pihak yang bersekutu dengan pengadilan. Apalagi di dalam aliansi tersebut banyak sekali pakar-pakar hukum.
Amicus curiae
Menilik asal usulnya, amicus curiae berasal dari Hukum Romawi Kuno. Ketika Kerajaan Romawi Kuno berkuasa abad ke-9, Roma membuat sebuah atau sekelompok penasihat independen atau disebut dengan istilah consilium yang bertujuan untuk mengarahkan dan sekaligus mengawasi segala hal yang berkaitan dengan seluruh aspek dalam penanganan perkara.
Awalnya, praktik ini berlangsung di negeri-negeri dengan sistem common law, khususnya di pengadilan tingkat banding atau pada kasus besar dan penting. Belakangan amicus curiae telah diatur oleh negara-negara dengan sistem civil law.
Amicus Curiae atau dapat disebut juga dengan “friends of court” atau sahabat pengadilan, adalah bentuk masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus.
Amicus curiae dapat dikatakan hanya sebagai sebuah mekanisme. Di mana pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dapat mengajukan opini hukumnya untuk memperkuat analisa hukum dan menjadi bahan pertimbangan hakim. Opini hukum yang diberikan biasanya mencakup informasi yang terabaikan. Dengan opini tersebut, amicus curiae memberikan perspektif yang lain mengenai kasus yang sedang disidangkan. Dokumen yang memuat opini tersebut disebut sebagai amicus brief.
“Amicus curiae merupakan bentuk dari social justice. Itu sah-sah saja, namun tidak bisa kemudian menjadi alat untuk menekan hakim dalam membuat putusan. Jangan coba-coba mempengaruhi apalagi mengintervensi dengan tujuan untuk meringankan atau memberatkan terdakwa dalam suatu perkara,” seru Prof Gayus Lumbuun keras.
Keberadaan amicus curiae, sambung Prof Gayus, hanya sebatas memberikan opini dan bukan melakukan perlawanan ataupun memaksa hakim. “Dalam putusannya, hakim tentu akan mempertimbangkan social justice. Namun pertimbangan legal justice memiliki kedudukan tertinggi,” tukasnya. (RN)
Be the first to comment