Catatan Kritis Dari Putusan MK Tentang Uji Formal Terhadap UU KPK

Dr. H. Joni, SH., MH., Notaris, Pengurus Ikatan Notaris Undip Pusat, dan pengamat hukum, sosial, politik kemasyarakatan

Oleh : Dr. H. Joni, SH., MH*

SIDANG secara daring Mahkamah Konstitusi yang (MK) yang digelar Selasa, 14 Mei 2021, memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), yang diajukan mantan pimpinan KPK.

Mereka yang mengajukan permohonan uji formal adalah Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, Saut Situmorang, dan kawan kawan, yang berjumlah 14 orang dan diwakili oleh puluhan advokat. Mereka ini yang merasa dan dinilai sebagai yang mempunyai legal standing untuk ber-acara di MK. Memang tidak terlalu populer, pengujian undang-undang dalam arti formal ialah pengujian atas pembentukan undang-undang.

Dalam konteks pengujian formal ini menitikberatkan wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif telah sesuai dengan naskah akademik yang berlandaskan faktor filosofis, yuridis, dan sosiologis. Naskah akademik berfungsi sebagai bahan awal yang memuat gagasan tentang urgensi pendekatan, ruang lingkup, dan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan. Bahan pertimbangan yang digunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan RUU/RPP kepada presiden dan bahan dasar bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan.

Pengujian UU KPK

Beberapa pertimbangan menarik yang menjadi kajian lebih mendalam dari putusan MK itu, pertama adalah dalam proses pengajuan. Pemohon mendalilkan bahwa perubahan terhadap UU KPK itu tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Polegnas) DPR. Mahkamah menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Dalam kaitan dalil ini, MK menyatakan dalam pertimbangannya bahwa RUU KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama, terkait lama atau tidaknya pembahasan tergantung pada UU itu sendiri. Secara teknis dibutuhkan pengharmonisasian dengan UU lain. Hal ini menyebabkan tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasi UU.

Dalil yang diajukan sebagai pertimbangan kedua adalah tentang tidak dilibatkannya aspirasi atau peran serta masyarakat dalam pembentukan UU dimaksud. Uji formal yang menjadi pertimbangan kedua ini dengan mengingat bahwa peran serta masyarakat di dalam pembuatan produk hukum bersifat pokok. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa produk hukum, khususnya berupa Undang-Undang itu nantinya berlaku untuk seluruh rakyat. Dengan demikian sifatnya mutlak untuk melibatkan rakyat yang akan menjadi alamat pengaturan dimaksud.

Terkait dengan dalil dari para pemohon bahwa kelahiran UU itu tidak melibatkan masyarakat juga dimentahkan oleh MK. Bahwasanya dalil yang menyatakan kelahiran UU revisi dimaksud tanpa melibatkan masyarakat tidak benar. Berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan pembuat UU, yakni DPR, sudah melibatkan masyarakat dan stakeholders terkait termasuk pimpinan KPK dalam pembahasan RUU. Bahkan MK mencermati dalam proses dimaksud pihak pemohon, yang pada waktu diajukannya RUU itu berkedudukan sebagai pimpinan KPK sudah diajak untuk terlibat dalam pembahasan.

Dari keharusan adanya peran serta ini, pihak terkait khususnya DPR sudah mengundang secara patut. Namun dari beberapa kali undangan yang disampaikan, pihak KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi Undang-Undang KPK. Kenyataan demikian merupakan fakta hukum bahwa berarti bukanlah pembentuk UU DPR dan Presiden yang tidak mau melibatkan KPK. Namun demikian, secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK.

Sifat Formalitas

Hal lain yang kiranya memerlukan klarifikasi dan menjadi kajian penting adalah berhubungan dengan mencuatnya berbagai protes dari elemen masyarakat, bahkan di sepanjang pembahasan dan pengesahan UU KPK dimaksud. Kajian penting dimaksud berhubungan dengan interpretasi terhadap bentuk komplain atau protes dimaksud.

Pihak pemrotes tentu berharap sangat apa yang mereka sampaikan diakomodir. Namun tenyata pihak MK yang punya kewenangan memutus bahwa protes atau komplain itu dinilai sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat karena kegiatan tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok yang menolak tetapi juga yang mendukung.

Nampak sekali sifat formalistis yang tidak mempertimbangkan suasana kebatinan dan faktor sosiologis sama sekali. Formalitas atau kesan formalistis itu juga nampak pada kenyataan bahwa naskah akademik yang dibahas itu dinilai fiktif. Namun MK berargumentasi bahwa hal itu tidak beralasan menurut hukum.

Begitu pula terkait dalil tidak kuorumnya pengesahan RUU KPK dalam rapat paripurna, yang dinilai MK tidak beralasan menurut hukum pula.

Sekaitan dengan hal di atas, naskah akademik yang dijadikan bukti oleh para pemohon adalah naskah akademik yang memiliki halaman depan atau cover per-tanggal September 2019. Sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti oleh DPR tidak terdapat halaman depan atau kabar dan tidak tercantum tanggal. Artinya, hal itu tidak berarti kemudian mengurangi arti dari draft yang kemudian dijadikan sebagai dasar pembahasan dan penilaian oleh MK.

Di dalam perkembangannya, bahwa Presiden Joko Widodo memang tidak menandatangani UU KPK hasil revisi. Namun demikian hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur terjadi pelanggaran formal. Sebab, meski tidak ditandatangani presiden, UU KPK tetap berlaku dengan sendirinya apabila dalam waktu 30 hari tidak ditandatangani. Hal ini secara tegas disampaikan dalam ketentuan UUD 1945, sebagai konsekuensi ketika presiden tidak setuju dengan UU yang telah dibuat oleh DPR.

Implikasi Praktis

Sekaitan dengan pengajuan hak uji formal ini, secara akademis tidak akan membawa konsekuensi apa pun. Artinya, seandainya pun permohonan dikabulkan oleh MK, maka pengabulan itu tidak membawa konsekuensi dari kondisi suatu produk hukum, dalam hal ini UU KPK.

Apakah kemudian seandainya dikabulkan, lalu ketentuan dalam UU KPK itu menjadi batal atau tidak berlaku, sama sekali tidak. Konsekuensi dari dinyatakan bahwa suatu peraturan dibuat tidak sebagaimana prosedur yang seharusnya tidak membatalkan suatu UU.

Dengan bahasa sederhana suatu pengujian terhadap produk hukum melalui uji formal tidak membawa konsekuensi apa pun. Jadi, sekadar sebagai satu catatan untuk diketahui. Sementara pada sisi lain apakah pengajuan produk hukum untuk diuji secara formal itu merupakan kewenangan dari MK, masih juga tidak pasti. Namun demikian, karena selama ini MK menggunakan asas ultra petita, maka putusan apa pun yang dijatuhkan sebagai bentuk proses pengujian suatu produk hukum tetap sah secara formal. Hal ini disebabkan putusan yang bersifat final and binding. Tak ada lagi tersedia upaya banding atau kasasi. ***

* Penulis adalah Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan