Catatan Kritis Hardiknas: Moral Lebih Utama Daripada Mendulang Angka

Setia Alam Prawiranegara, praktisi hukum dan penggiat sosial, kritisi pendidikan di Indonesia

Jakarta, innews.co.id – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap 2 Mei ini, sejatinya bukan sebuah perayaan semata, melainkan harus menjadi refleksi dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia selama ini. Bukan sekadar pengingat saja, tapi harus dijadikan sebagai koreksi terhadap implementasi dan pemahaman esensi pendidikan yang hakiki.

“Harus dipahami bahwa pendidikan mengandung makna terdalam sebagai pengarusutamaan kesejatian manusia dalam pengakuan keberadaannya atas kedudukan, tahta, bahkan harta,” ungkap Setia Alam Prawiranegara, praktisi hukum sekaligus penggiat sosial dalam keterangan resminya, yang diterima innews, Sabtu (4/6/2022).

Alam Prawiranegara dengan lugas membeberkan, sejak dulu ada tiga filosofi/semboyan dalam sistem pendidikan dengan tujuan untuk membangun jiwa agar mampu mandiri dan membuktikan kemampuan dalam melakukan ataupun menghadapi sesuatu.

Menurutnya, Ki Hajar Dewantara, yang memiliki nama asli R.M Suwardi Suryaningrat, mencuatkan tiga filosofi pendidikan bagi Para Pengajar dan Para Pelajar, yaitu:

1. Ing ngarsa sung tuladha, artinya ketika di depan kita harus memberi contoh atau suri teladan bagi mereka yang berada ditengah dan belakang.

2. Ing madya mangun karsa, artinya ketika di tengah kita harus bisa memberikan semangat untuk kemajuan.

3. Tut wuri handayani, artinya ketika di belakang kita harus mampu memberikan dorongan.

“Saat ini, 3 filosofi tersebut mulai mengalami pergeseran makna, karena dilakukan sekadarnya atau dijadikan inkubator bisnis semata tanpa membangun jiwa pelajarnya,” ungkap wanita cantik yang juga dikenal sebagai Pendiri Indonesian Feminist Lawyer Club (IFLC) ini.

Dia mencontohkan, saat ini, begitu banyak sekolah yang biaya pendidikannya luar biasa mahal. Ini kerap menimbulkan efek negatif, di mana dapat menimbulkan nilai egosentris, baik pada orangtua, pengajar, dan pelajar.

Fakta negatif lainnya, sambung Alam Prawiranegara, selama ini pengajar telah menanamkan jiwa ‘kompetitor’ kepada peserta didik. Ini tidak tepat, karena bukan pada ilmu yang diperoleh, melainkan penghormatan untuk kompetisi seperti barang bermerk asli, mobil, dan lainnya.

Ditambahkannya, saat ini kejujuran menjadi suatu hal yang langka. Ini lantaran banyak pelajar berbuat curang dengan menyontek, dengan tujuan mendapat nilai (angka) maksimal. “Di sisi lain, pengajar terkesan tidak kreatif untuk membuat soal ujian, di mana pelajar berlomba menikmati hasil kecurangan dengan bangga dan tertawa,” urainya.

Kejadian riil dialami anak Alam Prawiranegara ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika anaknya menggambar sendiri pekerjaannya hanya diberi nilai 6, sementara pada tugas menggambar lain yang dikerjakan oleh Alam, gurunya memberi nilai 9. “Saya heran, kok bisa begitu. Guru lebih berorientasi pada hasil, bagus atau tidak. Padahal, namanya anak-anak, tentu mewarnainya tidak ada sebagus orang dewasa kan? Ini sangat tidak menghargai dan akan membuat jiwa anak kerdil. Sang Guru tidak punya rasa empati maupun penghargaan atas suatu proses,” serunya.

Contoh lainnya lagi, lanjut Alam, seringkali Sang Pengajar mengajar di kelas hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban, bukan tanggung jawabnya. Pada akhirnya diketahui pula tidak ada nilai baik yang diterapkan dalam kehidupan sehari hari.

Dari beberapa contoh diatas, Alam Prawinegara beranggapan, kejadian efek negatif atas suatu angka terjadi tidak hanya pada satu tempat, melainkan di banyak tempat di Indonesia. “Kondisi seperti ini tidak bisa disalahkan pengajar semata, seyogianya para orangtua dan pelajar, termasuk pemerintah bahu membahu untuk mengejawantahkan 3 filosofi pendidikan tadi.

Melihat carut marutnya kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, bagi Alam, tak terlepas dari pola pendidikan yang tidak tepat penerapannya. Mengapa demikian? Karena kita semua terjerumus selama beberapa dekade, hanya menjadi pengikut yang tergerus dan mendewakan “Angka”.

Alam mempertanyakan, ‘Ada apa dengan angka’? “Angka jika tidak tepat diletakkan tujuannya, maka akan terus bergulir dengan fakta-fakta tidak tepat. Akibatnya, generasi penerus bangsa menjadi tidak menghargai suatu proses, akan tetapi lebih memilih suatu hasil berupa angka.

Dikatakannya, sebagaimana bait lagu Indonesia Raya, “Bangunlah Jiwanya Bangunlah Raganya” sejatinya adalah tugas pengajar yang bertanggungjawab atas amanah dan cara ajar mengajar. Sehingga 3 filosofi tersebut terpenuhi dengan maksimal kepada para pelajar. “Makna tersurat adalah lahirnya “EQ (emotional quetient)/Moral” yang harus ditekuni dan dijalankan terlebih dahulu baru lahirlah “IQ (intelligence quotient)/Angka”.

Alam Prawiranegara menambahkan, selanjutnya hal yang luar biasa pada tahun ini, dimana Hari Pendidikan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri pada tanggal 2 Mei 2022, di mana Hari Raya Idul Fitri tersebut mengedepankan saling cinta kasih, berbagi, dan membuat bahagia. Maka seyogianya kembali satu sama lain berpegangan tangan dan memperbaiki yang seharusnya dengan berusaha agar berubah dari cara berpikir dan bertindak.

“Karenanya, Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2022 mempunyai makna berbeda untuk Indonesia. Kini, waktunya mengedepankan moral daripada angka,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan