Coba Selamatkan Aset Eks BPPN, Andreas Malah Jadi Korban Mafia Tanah di Cilandak KKO

Lokasi tanah yang bermasalah dekat dengan markas Marinir di Cilandak KKO, Jakarta Selatan

Jakarta, innews.co.id – Mafia tanah bak raja di negeri ini. Dengan leluasa mereka menguasai tanah dan dokumen-dokumennya, utamanya tanah-tanah di lokasi strategis. Perselingkuhan mafia dengan ‘orang dalam’ memperkuat sepak terjangnya yang telah merugikan negara.

Seperti yang dialami Andreas FK, sejak beberapa waktu lalu. Niat hati ingin membantu, malah terperosok ke dalam lubang hitam (black hole) para mafia tanah. Seolah ia dibukakan bahwa faktanya, permainan mafia tanah sudah demikian massif di negeri ini.

Dikisahkan, upayanya menyelamatkan aset eks BPPN di bilangan Cilandak KKO, Jakarta Selatan, bak menemui jalan buntu.

Berawal dari pinjaman yang dilakukan oleh Loka Prawira ke United City Bank (Unibank) dengan jaminan aset sebidang tanah dan bangunan di Jl. Cilandak KKO No.52, Jakarta Selatan. Luas tanah sekitar 2.706 meter persegi dengan empat sertifikat SHM, yakni nomor: 1406, 1407, 1411, dan 358. Pada 29 Oktober 2001, Unibank dibekukan dan dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Akibatnya, semua aset jaminan debitur Unibank diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Lalu, BPPN menawarkan ke beberapa bank untuk menjual hak tagih (Cessie). Hadirlah PT NISP Sekuritas yang tertarik untuk membeli piutang tersebut. Terjadilah perjanjian jual beli piutang antara BPPN dan PT NISP Sekuritas yang berlangsung pada 2 Desember 2003. Pembeli telah membayar lunas.

Lanjut, Cessie ini berpindah tangan kepada Fontienne Capital Limited, dengan perjanjian pengalihan hak atas tagihan pada 23 September 2008. Di tanggal yang sama, cessie ini berlabuh pada PT Rindang Sejahtera Finance melalui perjanjian pengalihan yang sah. Perusahaan ini masih satu grup dengan PT NISP Sekuritas.

Berbekal hak Cessie itu, PT Rindang Sejahtera Finance melakukan tagihan kepada ahli waris Loka Prawira. Namun, ahli waris tidak bersedia membayar. Aset jaminan itu pun bak tak bertuan. Bangunan yang ditempati seseorang yang diminta menjaga tanah tersebut, hampir setengahnya runtuh.

Mengetahui kondisi tersebut, Andreas FK pun miris. Akhirnya, ia putuskan membeli Cessie tersebut dari PT Rindang Sejahtera Finance.

Selaku pemegang hak tagih (Cessie), harusnya Andreas bisa mendapatkan seluruh dokumen aset jaminan. Namun, faktanya tidak demikian. Ia pun mulai bergerilya untuk melakukan penelusuran dokumen-dokumen. Salah satunya dengan menanyakan ke Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebab, berdasarkan Keppres No. 15/2004, kekayaan BPPN beralih menjadi kekayaan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh Kemenkeu cq Ditjen Kekayaan Negara (DJKN).

Namun, upayanya tak juga membuahkan hasil. “Mereka saling lempar tanggung jawab,” kata Andreas kepada innews, Senin (18/7/2022). Niat baik Andreas bertepuk sebelah tangan. Justru ia menjadi korban mafia tanah.

Dirinya tak lelah menelusuri jejak dokumen tanah ini. Setelah sekian tahun, Andreas yang juga dikenal sebagai pengacara ini menyimpulkan mafia aset jaminan (rumah, gedung, tanah, dan lainnya), mulai bermain sejak di BPPN. “SHM yang ‘berdaging’ hilang atau lebih tepatnya dihilangkan,” tukasnya.

Berkaca pada nilai aset jaminan Loka Prawira, berdasarkan NJOP 2022 memang cukup menggiurkan. Ditaksir nilainya Rp 48,7 milyar. Sementara taksiran harga pasar mencapai Rp80 milyar. “Mungkin hal ini yang menyebabkan dokumen aset jadi menghilang,” kata Andreas.

Itu baru satu kasus yang terungkap di antara kasus-kasus lain yang mengendap atau sengaja diendapkan. Tak heran Andreas menyangsikan angka yang pernah diungkap oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di media massa, terkait kerugian negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp109 triliun lebih sampai tahun 2021. “Saya memperkirakan bisa diatas Rp 1.000-an triliun, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh sebuah LSM yang menyoroti masalah transparansi anggaran,” serunya.

Andreas beranggapan, dalam kasus yang dihadapinya, tidak mungkin mafia tanah bisa berjalan sendiri tanpa peran atau kerja sama dengan orang dalam. “Dengan tidak diketahuinya keberadaan dokumen (hilang atau dihilangkan), inilah mafia tanah memanfaatkan untuk menciptakan SHM pengganti melalui Badan Pertanahan Nasional tanpa bukti-bukti kepemilikan yang sah atau tanpa dasar hukum yang kuat,” ungkapnya.

Sebagian dilelang yang diatur sedemikian rupa. Sebagian lagi dijual dengan SHM yang pemiliknya sudah berganti nama. Sebagian disewakan. “Bahkan, kami menemukan ‘orang mati hidup kembali’,” tuturnya.

Meski berliku, Andreas dengan telaten mencari cara. Yakni, dimulai dari pengurusan surat keterangan hilang dari polisi. Selanjutnya, bila masih ada halangan bisa melakukan gugatan ke pengadilan setempat yakni, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Meski begitu, ini pun harus dikawal ekstra ketat. Sebab, bukan tidak mungkin mafia tanah bermetaformosis menjadi mafia peradilan,” tukasnya.

Dia menambahkan, bila kedua cara tersebut masih tak tembus, maka Kementerian ATR/BPN memiliki cara terampuh, yakni diskresi. “Tentunya diskresi harus diikuti dengan bukti-bukti kuat berdasarkan legal standing yang jelas dan kuat. “Jangan sampai diskresi terjadi karena abuse of power,” tandasnya.

Andreas juga mengusulkan agar pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN perlu membentuk Badan Independen yang memahami dan menguasai masalah terkait aset BLBI. “Kami sebagai praktisi hukum sekaligus korban keganasan mafia tanah, siap membantu Kementerian ATR/BPN dalam mengembalikan aset negara dan aset masyarakat,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan