Jakarta, innews.co.id – Meski ekspor Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 3,56 miliar di April 2024, namun di periode yang sama nilai impornya mencapai US$16,06 miliar. Artinya, masih besar pasak daripada tiang.
“Upaya meningkatkan ekspor harus dibarengi dengan pengurangan biaya impor. Sebab, kenaikan nilai ekspor masih dirasa jomplang dengan impor Indonesia di periode yang sama. Dengan kata lain, ekonomi Indonesia masih besar pasak daripada tiang,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jakarta, Diana Dewi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Menurutnya, bila tidak ada balance, maka berapapun kenaikan nilai ekspor tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan negara, sepanjang biaya impornya masih tinggi.
Seperti diketahui, terjadinya surplus ekspor karena ditopang oleh nonmigas seperti, bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan/nabati, besi dan baja. “Meski disebut neraca ekspor Indonesia selama 48 bulan positif, namun harus dicompare dengan nilai impor sebagai balance-nya,” usul CEO PT Suri Nusantara Jaya ini.
Tantangan geopolitik
Lebih jauh Founder Toko Daging Nusantara ini memprediksi pertumbuhan ekonomi global diprakirakan relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangannya.
“Tantangan besar yang dihadapi perniagaan di Kuartal II/2024 adalah kondisi geopolitik, di mana perang berkecamuk di sejumlah negara. Ini tentu menyulitkan dalam perdagangan, utamanya melalui jalur-jalur di negara yang tengah berkonflik. Diprediksi bakal terjadi perlambatan kinerja ekspor akibat perlambatan ekonomi global,” ucapnya.
Tak hanya itu, tingkat suku bunga yang lebih tinggi dan lebih lama yang dapat mempengaruhi pelemahan permintaan global dan domestik. Juga tekanan inflasi bahan makanan yang meningkat akibat El Nino dan dapat berdampak pada konsumsi rumah tangga.
Hal lainnya, terkait transisi pemerintahan yang dapat mendorong investor untuk mengadopsi pendekatan wait and see, yang mempengaruhi investasi tetap.
Meski begitu, Diana menilai, peluang ekspor tetap besar. Hanya saja bila kondisi geopolitik global masih saja memanas, tentu kondisinya yang cukup berat. Agar tidak melintas daerah yang berkecamuk perang, tentu kapal harus melewati jalur lain sehingga terjadi penambahan waktu (additional time) pengiriman dan kenaikan cost.
“Pemerintah bisa memperbanyak ekspor ke negara-negara yang tidak berkonflik, atau melalui safe zone (jalur aman) pelayaran) ke negara yang dituju. Selain itu, pemerintah bisa memperkuat basis kebutuhan pokok rakyat Indonesia tanpa harus impor besar-besaran. Misal, dengan mendorong intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian,” cetus Bendahara Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jakarta ini.
Dia juga menyarankan agar pemerintah bisa menekan harga jual kebutuhan pokok yang dihasilkan di dalam negeri. Serta meningkatkan daya beli masyarakat.
“Kami berharap pemerintah tak hanya fokus pada ekspor, tapi juga berupaya menekan biaya impor. Dengan begitu, maka akan terjadi keseimbangan. Meski dikatakan kinerja ekonomi Indonesia masih cukup resilien, namun tetap harus diwaspadai karena bukan tidak mungkin terjadi reborn inflasi,” tukasnya.
Dirinya juga berharap Bank Indonesia terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global. Dalam hal ini memperkuat nilai tukar rupiah dengan meminimalisir terjadinya inflasi dan pengurangan cadangan devisa negara.
“Kebijakan moneter harus difokuskan untuk menjaga stabilitas (pro-stability), sedangkan kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta program ekonomi-keuangan inklusif dan hijau diarahkan untuk mendorong pertumbuhan (pro-growth),” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment