Jakarta, innews.co.id – Kaum perempuan harus lebih banyak jadi pemimpin di dunia politik. Dengan begitu, tentu ada keseimbangan dalam pengambilan kebijakan.
“Selama ini ketimpangan dalam mengambil kebijakan kerap terjadi. Apalagi terkait isu-isu kesetaraan gender. Ini bisa diminimalisir bila semakin banyak perempuan terlibat dalam pengambilan kebijakan,” ungkap Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jakarta Diana Dewi, saat peringatan Hari Kartini 2024, di Jakarta, Minggu (21/4/2024).
Belum paripurnanya kesetaraan gender di Indonesia bisa jadi juga karena keengganan kaum perempuan masuk dalam dunia politik. Padahal, R.A. Kartini telah menyuarakan emansipasi perempuan sejak sebelum tahun 1900.
Data Global Gender Gap Report 2023 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa Indeks Kesenjangan Gender Global (GGGI) Indonesia di 2023 mencapai 0,697 poin. Skor tersebut tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Dari sisi pemeringkatan, Indonesia naik 5 tangga ke posisi 87 dari 146 negara, dari sebelumnya di urutan 92. Di ASEAN sendiri, IKG di Indonesia berada di peringkat ke-6 dari 10 negara anggotanya.
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dalam kurun 2018-2022, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) mengalami penurunan rata-rata 0,01 poin per tahun. Untuk Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), perempuan Indonesia sekitar 53,41% dan laki-laki 83,87%. Di dunia politik, masih terjadi ketimpangan di mana kaum perempuan yang menjadi anggota legislatif hanya 21,74%, pria 78,26%.
“Berkaca pada data-data tersebut, bisa dikatakan, kesetaraan gender di Indonesia belum paripurna,” tegas Bendahara Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) DKI Jakarta ini.
Faktor dominan
Dengan luas, Komisaris Independen PT Angkasa Pura Suports ini menguraikan bahwa ada sejumlah faktor dominan yang mempengaruhi kesenjangan gender, antara lain, akses terhadap pendidikan yang tidak merata, masih kurangnya kesetaraan di dunia kerja, kurangnya perlindungan hukum, pola pikir (mindset) masyarakat, subordinasi (penomorduaan kaum perempuan yang masih kental), budaya patriarkhi yang masih kuat di banyak komunitas masyarakat, dan marginalisasi (peminggiran ekonomi).
Ditambahkannya, masih jauhnya gap antara perempuan dan laki-laki tidak hanya karena stigma yang masih kuat, tapi juga masih ada keengganan dari kaum perempuan sendiri untuk maju.
“Indonesia masih butuh Kartini-Kartini yang berani mengambil langkah-langkah konkrit agar positioning kaum perempuan semakin kuat, utamanya dalam mewujudkan kesetaraan gender. Harus terus diperbanyak dan dikembangkan peran perempuan di segala sektor,” seru Diana.
Di sisi lain, sambungnya, kaum perempuan juga harus ‘memperkaya’ dirinya dengan pendidikan dan melek teknologi. Jangan manfaatkan media sosial hanya untuj menonton, apalagi ghibah. Tapi bagaimana kita menggunakannya untuk berbisnis misalnya.
Guna mendorong kesetaraan gender, pemerintah memiliki peran besar. Salah satunya dengan pengalokasian anggaran, baik APBN maupun APBD yang besar bagi pemberdayaan kaum perempuan. Selain itu, pemerintah juga terus mendorong keterlibatan aktif kaum perempuan untuk bisa masuk ke sejumlah sektor dan terlibat dalam berbagai kegiatan usaha.
Saat ini perempuan mengelola 64,5 persen dari total UMKM di Indonesia atau sekitar 37 juta UMKM. Ini merupakan potensi besar yang kalau dikelola dengan baik akan menjadi kekuatan besar.
“Selain itu, dibutuhkan juga keterlibatan yang lebih aktif dari kaum perempuan, termasuk dalam dunia politik. Dengan semakin banyak perempuan terlibat dalam dunia politik, bisnis, dan sektor-sektor lainnya, maka kesetaraan gender pun akan semakin cepat terwujud,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment