
Jakarta, innews.co.id – Menjadi anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau dikenal dengan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, tidaklah semudah yang dibayangkan. Pasalnya, ada sejumlah regulasi nasional yang perlu disesuaikan.
Beranggotakan 37 negara, OECD merupakan forum unik berbasis pasar, di mana negara-negara yang bergabung berkolaborasi untuk mengembangkan standar kebijakan guna mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Belum lama ini OECD merilis Ketentuan Pilar 1 Amount B. Aturan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada pemasaran dasar dan kegiatan distribusi, dengan fokus khusus pada kebutuhan negara-negara berkapasitas rendah. Dijelaskan, model Pilar 1 Amount B ini adalah analisis tiga langkah untuk menentukan laba atas penjualan bagi distributor dalam lingkup yakni, panduan mengenai dokumentasi (khususnya file lokal harga transfer), permasalahan transisi, dan pertimbangan kepastian pajak.
Di sisi lain, Indonesia di 2023 lalu telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. Bila ditelisik aturannya agak berbeda dengan Pilar 1 Amount B.
“Pilar 1 Amount B dari OECD menjadi sesuatu yang dilematis bagi Indonesia. Tapi, bila aturan tersebut tidak diterapkan, maka OECD bisa menilai Indonesia belum urgen untuk menjadi anggota,” kata pengusaha sukses Diana Dewi, dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Sebagai informasi, saat ini Indonesia masih masuk sebagai negara kandidat aksesi OECD.
Memang, Ketentuan Pilar 1 Amount B tidak diwajibkan kepada setiap anggota OECD. Namun, sebagai negara kandidat aksesi, Indonesia harus memberikan perhatian terhadap aturan tersebut. Akan tetapi, bila dipaksa untuk diterapkan, bisa berbenturan dengan kebijakan yang ada, seperti PMK No.172/2023.
Diana Dewi yang juga Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta menjelaskan, skema simplifikasi transfer pricing OECD terkesan ingin menyederhanakan kompleksitas analisis transfer pricing untuk perusahaan, utamanya terkait pemasaran dan distribusi. Sebab faktanya, banyak sengketa terjadi di lingkup pemasaran dan distribusi.
“Tapi sepertinya tidak semudah itu. Sebab, dalam Pilar 1 Amount B, wajib pajak dibebankan pada hal-hal teknis baru, termasuk berbagai terminologi pendekatan dan langkah-langkah yang belum ada sebelumnya,” papar CEO PT Suri Nusantara Jaya Group ini.
Meski demikian, sambungnya, sebagai negara kandidat aksesi OECD, tentu perlu menyesuaikan. Hanya saja, karena Pilar 1 Amount B sifatnya tidak dipaksakan untuk diterapkan, maka Indonesia masih memiliki peluang menjalankan PMK 172/2023. Atau bisa melakukan sinkronisasi dengan Pilar 1 Amount B, tentunya disesuaikan dengan kondisi dalam negeri.
Ditambahkannya, bila Pilar Amount B dianggap perlu diadopsi, maka pemerintah harus memperbaharui ketentuan transfer pricing dalam PMK 172/2023. Selain itu, harus dilihat bahwa bergabungnya Indonesia dalam OECD tidak berkaitan dengan kewajiban menerapkan agenda pajak yang dikeluarkan oleh OECD.
Bicara soal PMK 173/2023, Diana menilai, sejauh ini belum terlihat efektif berjalan. “Aturan ini masih baru. Karenanya perlu diuji dalam implementasinya. Namun, bila harus disandingkan dengan Pilar 1 Amount B, tentu ada hal-hal yang perlu disesuaikan,” tukas Owner Toko Daging Nusantara ini.
Sebagai pengusaha, Diana menegaskan belum bisa melihat skema simplifikasi transfer pricing keluaran OECD. Seiring waktu tentu akan nampak kelemahan-kelemahan dari skema ini. Meski begitu, pemerintah harus segera melakukan analisa terhadap kehadiran aturan tersebut.
“Jangan sampai, baik di PMK 172/2023 maupun Pilar 1 Amount B terdapat trade-off dari desain sistem pajak yang sederhana dengan sesuatu yang kompleks di bagian lainnya. Saya menilai penerapan Pilar 1 Amount B masih sulit diprediksi,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment