Diana Dewi: Ketum KADIN Indonesia Sudah Memberi Contoh, Kalau Berpihak Cuti Dulu

Ketum KADIN DKI Jakarta, Diana Dewi, tengah memberikan sambutan pada Pembukaan Rapimprov IV KADIN DKI Jakarta

Jakarta, innews.co.id – Arsjad Rasjid memilih ‘mundur’ dari jabatannya sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, lantaran dia bergabung di Tim Pemenangan Nasional (TPN) pasangan Capres-Cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Keputusannya untuk mundur karena dirinya tak ingin ada conflict of interest dengan organisasi besar yang ia pimpin. Bagi banyak orang, ini sikap gentlement yang ditunjukkan Arsjad Rasjid dengan tidak membawa-bawa organisasi terhadap perjuangan yang ia lakukan di TPN Ganjar-Mahfud. Dirinya sadar, kalau jabatannya tidak dilepas, maka berbagai kemungkinan bisa terjadi, termasuk memanfaatkan inventaris organisasi untuk keperluannya.

“Apa yang ditunjukkan Pak Arsjad menjadi contoh bagi kita semua. Meski kita memiliki hak politik sebagai warga negara, namun jabatan yang diemban terus melekat. Karena itu, sebaiknya cuti dulu,” kata Ketua Umum KADIN DKI Jakarta, dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (26/1/2024).

Menurutnya, hal serupa juga terjadi pada pejabat negara dan aparatur sipil negara (ASN). “Yang swasta saja kalau pejabat baiknya mundur, apalagi ASN,” tegas Diana yang juga Dewan Penasihat APJI ini.

Diana menguraikan, Pasal 4 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemilu jelas menyebutkan bahwa Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas netralitas. Dalam hal ini, pemerintah harus netral dalam proses pemilihan umum.

Begitu juga dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2015 tentang Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan Dalam Pemilu yang menyatakan, pemerintah tidak boleh memihak salah satu pasangan calon.

Semakin diperkuat dengan Pedoman Etika Kampanye Komisi Pemilihan Umum Nomor 002/PIP-KPU/II/2015, yang menegaskan bahwa pejabat negara wajib bersikap netral dan tidak boleh mendukung atau mempromosikan calon tertentu dalam kampanye.

“Dalam aturan-aturan ini sudah jelas betapa pentingnya pejabat negara bersikap netral dan tidak boleh berpihak pada salah seorang calon. Jadi, kalau ada pejabat negara yang menyatakan boleh berpihak patut dipertanyakan apa motivasinya,” seru Founder PT Suri Nusantara Jaya ini.

Hal tersebut juga menjadi otokritik bagi Presiden Joko Widodo yang beberapa waktu lalu menegaskan bahwa Presiden boleh berpihak bahkan mempersilahkan ASN ikut berkampanye. “Kalau sudah berpihak, repot negara ini jadinya. Memang ASN pun akan ikut memilih. Namun, menunjukkan keberpihakan, apalagi secara terang-terangan mendukung salah satu paslon membuat Pilpres jadi tidak netral lagi,” tegas Komisaris PT Garindo Food International ini.

Dengan lugas Diana menuturkan, jabatan itu amanah dari berbagai pihak yang beragam dan bisa jadi memiliki pilihan yang berbeda. Karena itulah, jabatan harus dilepas kalau mau mendukung salah satu paslon.

Dukungan dari pejabat negara terhadap salah satu paslon bisa berdampak luas. Mulai dari pengaruh ke bawah, pemanfaatan fasilitas negara, dan berpotensi juga menggunakan uang negara demi mengkampanyekan salah satu calon. “Kalau mau mendukung salah satu paslon, baiknya pejabat negara cuti dulu. Lepas dulu jabatannya, baru silahkan cawe-cawe,” cetus Ketua Umum Asosiasi Pengolah Daging Skala UMKM dan Rumah Tangga (Aspedata) ini.

Bagi Diana, keberpihakan pejabat negara, apalagi Presiden kepada salah satu paslon merupakan contoh yang tidak benar kepada rakyat dan menjadi bukti kemunduran demokrasi. “Pemimpin itu harus memberi teladan, bukan malah merusak tatanan yang ada dengan menabrak regulasi,” sergah owner Toko Daging Nusantara ini. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan