Jakarta, innews.co.id – Wacana pembatasan usia kendaraan dibawah 10 tahun yang boleh masuk Jakarta, dinilai bisa berdampak menurunnya produktifitas. Sebab faktanya, masih banyak pekerja di suatu perusahaan atau pekerja lepas yang menggunakan kendaraan berusia di atas 10 tahun.
Penegasan itu disampaikan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta Diana Dewi menyikapi munculnya wacana pembatasan usia kendaraan yang masuk Jakarta, seperti diberlakukan di Singapura.
“Pendapatan perkapita warga Indonesia masih jauh bila dibandingkan dengan Singapura. Di Singapura, pendapatan perkapita warganya di 2023 mencapai US$87.880 (sekitar Rp1,36 miliar). Sementara Indonesia, di tahun yang sama, sekitar Rp 75 juta atau sebesar US$ 4.919,7. Sangat jauh sekali,” kata Diana Dewi.
Kalaupun Singapura menerapkan kebijakan pembatasan usia kendaraan yang boleh beroperasi, tentu sangat memungkinkan dengan pendapatan perkapita warganya sebesar itu. Kalau di Indonesia belum bisa. Karena nilai segitu pun belum merata. Di sejumlah sektor, pekerjanya bahkan masih ada yang digaji dibawah UMP daerah tersebut. Di sisi lain, kondisi ekonomi Indonesia belum stabil, daya beli masyarakat terus turun, dan barang-barang kebutuhan pokok cenderung naik.
Bila kebijakan itu diterapkan di Jakarta, maka banyak pekerja dari daerah pinggiran tidak bisa masuk. Kalau pun masuk berarti dia harus membeli kendaraan baru. Apakah sudah mampu? Belum lagi karena memiliki dua kendaraan kena pajak progresif. Ini kan juga harus dipikirkan.
Atau bisa juga pekerja yang berasal dari daerah di sekitaran Jakarta harus memarkirkan kendaraannya bila masuk Jakarta. Sementara lahan parkir sendiri terbatas. Ini juga akan memberatkan karena harus membayar parkir kendaraannya, baik perhari ataupun perbulannya.
“Mungkin bagi pekerja kelompok menengah keatas, hal tersebut tidak terlalu menyulitkan, namun bagi yang menengah ke bawah hal tersebut akan memberatkan,” seru CEO PT Suri Nusantara Jaya ini.
Lebih jauh Founder Toko Daging Nusantara ini menilai, saat ini jauh lebih baik diterapkan pembatasan genap-ganjil yang diperluas, tidak saja untuk kendaraan bermotor roda empat, tapi juga roda dua. “Sejauh ini, sistem genap-ganjil sudah cukup efektif. Selain itu, uji emisi kendaraan bermotor bisa lebih rutin dilakukan dan diberikan sanksi lebih berat bagi yang melanggar untuk menekan polusi,” imbuh Komisaris Independen PT Angkasa Pura Suport ini.
Diana memprediksi, dengan perpindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur, tentu akan mengurangi mobilitas kendaraan di jalan raya.
“Menurut saya, pembatasan usia kendaraan tidak lantas menunjukkan kekhususan Jakarta, pasca tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara. Justru hal yang terpenting adalah bagaimana mendorong Jakarta bisa menjadi Kota Global, pusat niaga, jasa, dan teknologi,” jelasnya.
Dirinya juga berkeyakinan, kalau pendapatan perkapita warga Jakarta meningkat tentu memiliki kemampuan untuk mengganti kendaraan bermotornya secara periodik. Namun, bila hal tersebut harus diatur dalam UU, maka akan menyulitkan bagi pekerja, baik di Jakarta maupun mereka yang bermukim di sekitaran Jakarta. (RN)
Be the first to comment