Oleh : Ahmad Zazali, SH., MH*
*Penulis adalah Praktisi Sosio Legal dan Resolusi Konflik, serta Direktur AZ law Office & Conflict Resolution Center
SALAH satu isi program Nawacita yang didengungkan Joko Widodo saat maju Pemilihan Presiden 2014 adalah pemberian akses kelola kawasan hutan kepada rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan melalui program unggulan yang dinamakan perhutanan sosial.
Perhutanan sosial merupakan program memberikan akses legal kepada masyarakat terhadap kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat, serta Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), khusus untuk hutan Jawa.
Perhutanan sosial merupakan perwujudan dari program Nawacita ke-1 yaitu, negara hadir melindungi segenap bangsa dan memberi rasa aman pada seluruh warga negara Indonesia, Nawacita ke-6 meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan Nawacita ke-7 mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Target pemberian akses legal seluas 12,7 juta hektar ini bahkan dibahas secara serius di rumah transisi sebelum Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik, dengan maksud agar hutan Indonesia dapat dikelola untuk kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan target tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLH) era pemerintahan Presiden Jokowi, bahkan secara khusus menambah direktorat baru yaitu, Direktrorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) yang diberi tugas pokok dan fungsi untuk mewujudkan program Nawacita Jokowi berhubungan dengan perhutanan sosial.
Belakangan, Pehutanan Sosial mendapat keistimewaan dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maupun dalam Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, sekaligus terjadi penambahan alokasi perhutanan sosial seluas 1 juta hektar dari hutan Jawa yang dikelola Perhutani, sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa dari hutan seluas 2,4 juta hektar yang dikelola Perhutani se-Jawa akan menjadi Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) atau Perhutanan Sosial Pulau Jawa. Kendati menuai penolakan dari serikat karyawan Perhutani sendiri, namun program KHDPK tetap jalan demi menggenjot pencapaian Perhutanan Sosial di pulau Jawa.
Capaian Perhutanan Sosial Masih Jauh dari Target
Dikutip dari siaran pers Ditjen PSKL Kementerian LHK pada 30 Desember 2022, dinyatakan bahwa hingga akhir 2022, capaian target perhutanan sosial baru seluas 5,3 juta hektar yang tersebar di 33 Provinsi, 380 Kabupaten, 2.315 Kecamatan dan 4.294 desa di Indonesia, dengan jangkauan 1,2 juta kepala keluarga atau sekitar 5 juta jiwa.
Namun, data luasan capaian per jenis perhutanan sosial yang terpublikasi per Oktober 2022 meliputi Hutan Desa dengan luas 2.013.017,21 Hektar, Hutan Kemasyarakatan (HKM) dengan luas 916.414,60 Hektar, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan luas 355.185,08 Hektar, Kemitraan Kehutanan (KK), meliput Kulin KK dengan luas 571.622,38 Hektar dan IPHPS dengan luas 34.789,79 Hektar; dan Hutan adat mencapai 1.196.725,01 Hektar (Penetapan Hutan Adat 108.576 Hektar dan Indikatif Hutan Adat 1.088.149 Hektar).
Dengan demikian pencapaian perhutanan sosial masih jauh dari target 12,7 juta haktar seperti yang diharapkan oleh program Nawacita Jokowi. Pencapaian tersebut baru setara dengan 40,1 persen atau menjadi hanya 31,5 persen jika hutan adat dikurangi luas indikatif hutan adat 1.088.149 hektar, sementara pemerintahan Presiden Jokowi akan berahir pada tahun 2024.
Masih rendahnya pencapaian perhutanan sosial ini, seperti mengkonfirmasi pesimisme Menteri LHK, Siti Nurbaya pada 30 Oktober 2017 di Istana Negara, yang sempat menyatakan keraguannya bisa mencapai target 12,7 juta hektar. Menurut Siti Nurbaya ketika itu, target perhutanan sosial yang paling realistis seharusnya hanya 4,4 juta hektar sampai 5 juta hektar saja.
Setengah Hati Pengakuan Hutan Adat
Pencapaian 40,1 persen atau 31,5 persen perhutanan sosial ini pun masih banyak menjadi tanda tanya bagi Masyarakat Hukum Adat dan organisasi Pejuang Masyarakat Adat di Indonesia, terutama terkait capaian pada hutan adat. Pencapaian pada hutan adat yang diklaim seluas 1.196.725,10 hektar, ternyata sesungguhnya baru seluas 153.322 hektar atau 108 wilayah adat yang mendapatkan Surat Keputusan Menteri LHK tentang Penetapan Hutan Adat, sedangkan mayoritas sisanya atau seluas 1.088.149 hektar hanya sampai pada status indikatif hutan adat yang belum memiliki konsekuensi hukum lahirnya hak bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat tersebut.
Sementara potensi wilayah adat yang sudah teregistrasi menurut publikasi terbaru Badan Registasi Wilayah Adat (BRWA) pada pertengahan Maret 2023, terdapat sedikitnya mencapai luas 25,1 juta hektar yang tersebar pada 1.243 peta wilayah adat di 32 Provinsi dan 154 Kabupaten/Kota di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 198 wilayah adat sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan luas 3,2 juta hektar atau hanya 12,7 persen dari total wilayah adat yang sudah teregistrasi oleh BRWA.
Dari 25,1 juta hektar wilayah adat yang sudah diregistrasi BRWA tersebut, potensi hutan adatnya mencapai 17,5 juta hektar. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan data luas hutan adat yang sudah diakui Kementerian LHK, maka baru 0,87 persen dari potensi hutan adat yang ada saat ini, karena itu pantaslah kalau hal ini disebut sebagai suatu bentuk komitmen yang masih setengah hati dari Kementerian LHK.
Sedikitnya hutan adat yang sudah diakui secara hukum melalui SK penetapan tersebut, bahkan sering menjadi keluhan dari penggiat masyarakat adat, namun tidak ada solusi yang konkrit untuk mempercepat pengakuan hutan adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia.
Kendati demikian, dalam berbagai forum internasional, Kementerian LHK seringkali mendengungkan komitmen pengakuan dan perhormatan terhadap masyarakat hukum adat. Pengukuhan yang setengah hati terhadap hutan adat ini bertentangan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang menyatakan bahwa ruang hidup masyarakat adat itu bukan hutan negara.
Adapun kendala yang paling dikeluhkan oleh organisasi pejuang masyarakat adat di Indonesia terhadap pengakuan masyarakat adat dan hutan adatnya yaitu:
Pertama, persyaratan dan proses pengajuan hutan adat yang sulit karena masih mensyaratkan harus ada pengakuan masyarakat hukum adat oleh pemerintahan Kabupaten/Kota melalui SK Kepala Daerah atau Peraturan Daerah.
Kedua, pembatasan-pembatasan yang memperpanjang proses pengakuan di Kementerian LHK, terutama jika terkait dengan kawasan hutan dengan fungsi konservasi.
Ketiga, dukungan sumber daya manusia, anggaran dan program pengakuan masyarakat adat dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang lemah.
Secara fundamental, lemahnya komitmen pengakuan hutan adat juga berhubungan erat dengan lemahnya dukungan politik terhadap RUU Masyarakat Adat yang telah digagas organisasi perjuangan Masyarakat Adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sejak tahun 2009 dan mulai diusulkan menjadi inisiatif DPR RI melalui Fraksi PDIP pada tahun 2012, lalu mulai masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) pada periode 2009 – 2014, lalu masuk Prolegnas lagi pada periode 2014-2019, dan terakhir masuk lagi dalam Prolegnas 2022 sebagai inisiatif DPR, namun badan legislasi (baleg) kembali gagal membawanya ke sidang paripurna untuk disahkan.
Lahirnya UU Masyarakat Adat sangat dinanti-nanti karena diharapkan menjadi payung hukum yang kuat bagi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat di Indonesia. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat juga akan memberikan kepastian bagi pemerintah dan pelaku usaha dalam penyelesaian berbagai konflik tenurial dan sosial, serta kepastian jika ingin mengembangkan lahan usaha baru ke depan, baik yang berasal dari kawasan hutan maupun non kawasan hutan. ®
Be the first to comment