Dirut LPPI Ungkap Keberhasilan dan Tantangan Ekonomi Indonesia di Masa Pandemi

Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara

Jakarta, innews.co.id – Pemerintah terus bekerja keras dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi di masa pandemi ini, baik melalui investasi di pasar modal dan transformasi ekonomi digital.

Hal ini dikatakan Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara dalam Dialog Sore Bersama Pakar bertema “Perkembangan Bisnis Terkini (Post Pandemi) Indonesia from VuCa to Escape”, yang digagas oleh Satrio Center, 17 Februari 2022 lalu.

Mirza memaparkan, pada kuartal keempat (Q-4) 2021, Rasio Kenaikan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia sebesar 5.02% year on year (yoy). Hal ini menunjukkan pemulihan ekonomi Indonesia yang sangat baik. “Jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat di periode yang sama yaitu, 5.5% yoy. Bahkan GDP Indonesia pada periode tersebut jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi China dan Malaysia,” ungkapnya.

Menurutnya, kenaikan GDP Indonesia tersebut mempengaruhi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per provinsi secara nasional. “Jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode Q-4 2020 dengan Q-4 2021, jelas bahwa pada Q-4 2021 rata-rata PDB per Provinsi di Indonesia meningkat,” tuturnya.

Dia mencontohkan, PDB Sumsel Q-4 2020 sebesar 1,21%, sedangkan pada periode yang sama di tahun 2021 naik sebesar 5,12%. DKI Jakarta Q-4 2020 sebesar 2,17%, tetapi pada periode yang sama di tahun 2021 sebesar 3,64%. “Hanya Bali, Sulbar, dan Papua Barat yang mengalami penurunan yang cukup signifikan di Q-4 tahun 2021, jika dibandingkan dengan Q-4 tahun 2020,” kata Mirza.

Peningkatan GDP dan pertumbuhan PDB yang baik turut mempengaruhi kinerja investasi di pasar modal dengan cukup baik. Terbukti dari persentase investor asing sedikit meningkat menjadi 38,4% pada akhir 22 Januari 2022 (dari 38,3% pada 21 Desember 2021). Di sisi lain, penurunan 0,1% poin MOM dalam kepemilikan investor lokal. Hal ini didorong oleh penurunan sebesar 0,3% poin (MOM) menjadi 12,9% di asuransi lokal. Selain itu, Foreign Inflow di pasar saham mulai meningkat sejalan dengan pemulihan PDB.

“Investor asing menjadi pembeli bersih ekuitas pada Januari 2022 sebesar US$502 juta, setelah penjualan bersih sebesar US$294 juta pada 21 Desember 2021. Selain itu, investor asing melanjutkan penjualan bersih obligasi pemerintah, meskipun dengan jumlah yang lebih rendah US$78 juta pada Januari 2022 dibandingkan dengan US$1.902 juta pada 21 Desember 2021,” terang Mirza.

Lebih jauh Mirza menambahkan, sejak 2020 terjadi peningkatan investasi global berbasis ESG. Hal ini terjadi karena pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang merupakan faktor penting bagi keberhasilan investasi karena pemerintah, perusahaan, dan tingkat kepedulian konsumen semakin baik. Terlihat dari data tingkat perusahaan dan dana, arus masuk ekuitas ESG telah melampaui arus masuk non-ESG sejak 2020 dan akan terus meningkat.

Di era digital saat ini, arah transformasi ekonomi Indonesia juga ikut berubah. Misal, di bidang ritel, transformasi ekonomi dipegaruhi oleh perubahan consumer behaviour. “Pada tahun 2020, Generasi Z mendominasi populasi Indonesia. Di 2021, Gen Z menjadi generasi yang paling banyak menghabiskan waktu dengan smartphone dan menjadi generasi yang paling melek teknologi dan teraktif menghabiskan waktu di sosmed,” imbuhnya.

Selain itu, dibidang ekonomi digital, Gen Z dan Millenial ini merupakan peluang (pangsa pasar) yang sangat besar pada Ekosistem Digital ASEAN, terutama di Fintech. “Faktanya, Total Addressable Market (TAM) pada tahun 2020 mencapai USD 372 miliar dan diproyeksi akan mencapai USD 952 pada tahun 2025. Apalagi fintech memiliki peluang yang sangat besar di ASEAN dengan nilai TAM mencapai USD 287 miliar dengan sub-sektor terbesar yaitu, payment (e-wallet/mobile payment) dengan nilai TAM USD 232 miliar dan diproyeksi mencapai USD 694 miliar di tahun 2025,” urainya.

Fintech Peer-to-peer (P2P) Lending juga bertumbuh secara eksponensial. Hingga Agustus 2021, outstanding P2P lending mencapai Rp 26 triliun. Saat ini terdapat 104 fintech P2P Lending yang telah berizin dan terdaftar di OJK dengan 749.175 entitas lender, 68.414.603 entitas borrower. Namun, kehadiran P2P lending ilegal seperti pinjol (pinjaman online) menjadi disinsentif pada pertumbuhan P2P lending. Seperti kita ketahui, sebanyak 593 Pinjol Ilegal telah dihentikan operasinya pada tahun 2021.

Di sisi lain, sambung Mirza, bidang UMKM juga mengalami kemajuan di era ekonomi digital ini. Para pelaku UMKM saat ini sudah melek digital, terlihat dari presentasi UMKM yang sudah berjualan online juga meningkat, dibandingkan dengan yang belum berjualan online, dengan memanfaatkan e-wallet sebagai salah satu metode pembayaran e-commerce yang akhir-akhir ini makin poluler. Namun tentunya ada kendala pada penjualan online misalnya penetrasi Internet masih menjadi kendala utama UMKM go digital, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti infrastruktur telekomunikasi, ketersedian internet dan lain-lain di wilayah-wilayah pedesaan/perbatasan.

“Selain UMKM, digitalisasi perbankan juga ikut berubah. Misalnya penurunan jumlah cabang fisik bank. Hal ini disebabkan karena kehadiran teknologi digital yang mendorong pergeseran pola transaksi keuangan di sektor perbankan. Tercatat per Juni 2021, jumlah kantor bank di Indonesia adalah 32.966, menurun sebesar 14,3% dari yang sebelumnya 38.468 di tahun 2017,” bebernya.

Termasuk juga dengan fenomena Neobank yang merupakan terobosan baru di industri perbankan yang turut mempengaruhi arah transformasi ekonomi digital saat ini. “Seperti diketahui, keberhasilan neobank di negara lain seperti KakaoBank di Korea Selatan dan MyBank (ANT Group) di Cina tidak terlepas dari dukungan fintech dan e-commerce yang membentuk ekosistem yang terintegrasi dengan pemanfaatan Open API,” jelasnya.

Mirza menambahkan, tantangan lain Indonesia di era digitalisasi ekonomi yaitu, green energy. Tantangan Indonesia untuk mencapai green economy adalah pada sisi pendanaan. Namun dengan adanya komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 26% – 41% sampai tahun 2030 dan diharapkan mencapai zero carbon emission di 2060, maka pemerintah berencana meningkatkan kapasitas EBT sebesar 9.1 GW sampai 2024, sehingga diharapkan Indonesia kedepan mencapai green economy. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan