Dr. John Palinggi Bicara Dualisme Kepemimpinan Parpol dan Perilaku Cacat Etika Politisi

Dr. John N. Palinggi, pengamat sosial politik nasional

Jakarta, innews.co.id – Perseteruan dalam dunia politik memang selalu ada dan itu hal biasa saja. Sebetulnya mekanisme sistem politik sudah menentukan, dimana seorang politisi memiliki tanggung jawab untuk mengartikulasikan aspirasi, gagasan, dan tuntutan ke pusat kekuasaan. Sayangnya, di Indonesia jarang terjadi proses politik yang seperti itu. Kebanyakan politisi hanya mendengar, tapi tidak diteruskan ke puncak kekuasaan. Itu adalah kecideraan abdian dalam tugas dan sumpah jabatannya.

“Sangat terbatas orang yang mampu berdiri tegak sebagai politisi ulung di Indonesia. Banyak politisi yang tampil sebetulnya hanya ingin mencapai tujuan tertentu untuk kepentingan dirinya sendiri,” ungkap Dr. John N. Palinggi, pengamat sosial politik nasional dalam keterangannya kepada innews, di Jakarta, Senin (8/3/2021).

John yang juga dikenal sebagai pengamat intelijen ini menambahkan, dalam perpolitikan selalu ada escape (pintu darurat). Ada saja cara, terutama dalam kata-kata untuk mengelak. Mungkin justru kerja politisinya yang tidak beres, tapi dia cari-cari alasan untuk pembenaran. “Hati-hati, kalau sering-sering berperilaku demikian, bisa-bisa hari tuanya malah menderita nanti,” tukas John mengingatkan.

Dia mencontohkan, semasa kampanye hatinya lurus mau mengabdi pada rakyat. Tapi, pas sudah duduk, hatinya berubah. Yang dipikirkan bagaimana melihat anggaran. Kalau tidak sesuai dengan dirinya, bisa-bisa orang lain diributkan. “Perilaku politisi demikian menjadi lubang besar penderitaan rakyat akibat tidak berfungsinya sistem perpolitikan dalam mewujudkan aspirasi rakyat. Dan, itu penghianatan terhadap janji dan sumpah,” tandas John lagi.

Uniknya lagi, ada politisi yang berperilaku tidak benar, bahkan di penjara, tapi masih mau tampil, bahkan menggurui orang. Tak heran, kualitas politik di Indonesia tidak bisa menciptakan mekanisme sistem politik yang bermuara pada pembangunan demokrasi.

Karena itu, politik di Indonesia begitu keruh dan rentan mengalami guncangan. Muncul dualisme kepemimpinan, seperti yang terakhir mendera Partai Demokrat. Mengenai hal ini, John beranggapan, akan terlihat siapa yang lelah lebih dulu, dia yang kalah. “Konflik politik, apalagi pada pimpinan puncak membutuhkan energi dan nyali yang besar. Jadi, kalau nyalinya tidak besar, tidak usah teruskan perjuangan,” sarannya.

Kemelut di PD ini, sambung John, akan berdampak besar dimana kepercayaan rakyat terhadap parpol pasti menurun. “Politisi di Indonesia lebih banyak berjuang untuk diri sendiri daripada untuk kepentingan rakyat. Hanya mulia dalam tampilan saja, tapi tidak mulia dalam karya untuk rakyat,” cetusnya.

John menambahkan, seorang yang sudah dilantik sebagai anggota dewan, kan sudah disumpah berjuang untuk rakyat diatas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jadi, harusnya tidak lagi menonjolkan partainya, tapi benar-benar berjuang untuk rakyat. Ini kan tidak, kepentingan partainya saja yang diperjuangkan. Rakyat pun jadi terluka.

John menegaskan, kasus di PD harusnya menjadi cermin bagi parpol-parpol lain agar tidak terjadi. Jadi, parpol bisa merubah tampilan ditengah masyarakat menjadi lebih baik lagi. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan