Dua Jenjang Prestisius Dalam Genggaman Dhaniswara Harjono

Prof Dr. Dhaniswara K. Harjono saat menyampaikan orasinya pada pengukuhan Guru Besar UKI

Jakarta, innews.co.id – Keberhasilan Dhaniswara K. Harjono meraih gelar Profesor dalam bidang Ilmu Hukum Bisnis di Universitas Kristen Indonesia (UKI), merupakan capaian luar biasa, bukan saja bagi dirinya, tapi juga segenap sivitas akademika UKI.

“Ini semata-mata karena anugerah Tuhan. Profesor merupakan jenjang akademik tertinggi, sementara Rektor adalah jenjang struktural tertinggi di bidang pendidikan. Puji Tuhan, dua jenjang ini Tuhan berikan pada saya,” kata Prof Dr. Dhaniswara K. Harjono, SH., MH., MBA., dalam perbincangan khusus dengan innews, di ruang kerjanya, Selasa (20/2/2024).

Dia menjelaskan, jabatan Rektor lebih kepada leadership dan manajerial yang disesuaikan dengan visi-misi dari perguruan tinggi (PT) yang dipimpin. Sementara gelar Profesor terkait Tridharma Perguruan Tinggi yakni, pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

Prof Dr. Dhaniswara K. Harjono saat dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Hukum Bisnis di UKI

Dhaniswara sudah hampir 14 tahun bergelut dalam dunia pendidikan. Pria yang dikenal low profile ini juga dikenal sebagai sosok pengusaha dan praktisi hukum serta bisnis. Padahal, sebelumnya ia mengaku tidak pernah bermimpi masuk dunia pendidikan. Bahkan sejak muda, ia lebih menekuni dunia bisnis. Lalu, sedikit bergeser di masa krisis menjadi praktisi hukum, termasuk arbiter.

“Ternyata, dunia praktisi yang saya geluti selama ini sangat mendukung ketika saya berada di lingkungan akademik. Bagi saya, capaian ini, baik Profesor maupun Rektor merupakan bentuk pengakuan dari negara,” ujarnya.

Dia mengatakan, dalam dunia pendidikan, tidak cukup hanya mengajar, meneliti, dan mengabdi, tapi perlu ada rekognisi (pengakuan), sebagai poin lebih. Terkait pentingnya rekognisi, Dhaniswara mengaku telah ia raih sejak lama, baik dari organisasi profesi, seperti Hipmi, Kadin Indonesia, Peradi), maupun pemerintah (negara).

Makna bagi UKI

Predikat Guru Besar yang ia raih tentunya menjadi pemantik bagi dosen-dosen di UKI untuk lebih giat lagi, sehingga akan lebih banyak melahirkan Guru Besar yang diakui oleh negara.

“Saya berharap demikian. Karena pada dasarnya UKI sendiri sudah menjadi Kampus Terakreditasi Unggul, dengan sejumlah prodi yang tidak saja masuk kategori ‘Unggul’, tapi juga akreditasi internasional,” terangnya.

Prof Dr. Dhaniswara K. Harjono dikelilingi koleganya usai dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Hukum Bisnis di UKI

Dikatakannya, agar UKI lebih maju lagi maka harus diperbanyak dosen bergelar Doktor, bahkan Profesor. Bila demikian, maka bila dilakukan akreditasi, pencapaiannya akan tinggi.

Dhaniswara menjabarkan, di periode 2024-2025 ada sekitar 6-12 program studi (Prodi) di UKI yang akan ikut akreditasi. Sekarang dari 34 prodi, ada 7 yang terakreditasi Unggul. Juga ada beberapa Prodi terakreditasi internasional serta fakultas yang laboratoriumnya telah mendapat ISO 9001:2015. “Kita mau terus bergerak maju, menjadi kepala bukan ekor,” tegasnya.

Akuisisi PT

Dia juga mengusulkan agar diperbaiki tata kelola perguruan tinggi di Indonesia. Kabarnya, saat ini ada sekitar 4.523 PT, namun yang terakreditasi baru sekitar 30%. Seperti diketahui, pada 28 Juni 2022, secara resmi UKI meraih Akreditasi Unggul berdasarkan Keputusan BAN-PT No.304/SK/BAN-PT/Akred/PT/VI/2022.

“Kenapa pemerintah tidak mendorong PT yang sudah besar mengakuisisi PT menengah kebawah? Harusnya bisa dilakukan, sehingga dunia pendidikan bisa benar-benar menghasilkan lulusan terbaik. Itu (akuisisi) pernah terjadi di 2018, bahkan UKI sempat mengakuisisi 3 PT. Tapi setelahnya kebijakan itu berlalu begitu saja,” tukasnya.

Prof Dr. Dhaniswara K. Harjono bersama Ketua Yayasan UKI dan para Wakil Rektor

Dia menambahkan, saat ini hampir seluruh penyelenggara pendidikan tinggi swasta di Indonesia berbentuk yayasan, sehingga fungsi sosialnya sangat tinggi. Sedangkan PT Negeri masih mendapat pendanaan dari APBN, sementara PT Swasta harus berdiri di atas kaki sendiri.

Hal tersebut nyata di UKI, di mana banyak mahasiswanya berasal dari daerah dan diberi beasiswa. Tidak ada dukungan anggaran dari pemerintah, tapi harus inovatif untuk membiayai dirinya sendiri. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan