Oleh: Dr. H. Joni, SH., MH*
BULAN Suci Ramadhan, ketika umat Islam sedang konsentrasi menjalankan ibadah puasa, digusarkan muncul tayangan di media sosial yang bertajuk penodaan atau penistaan terhadap agama (Islam).
Adalah oknum Pendeta, bernama Jozeph Paul Zang kembali muncul dan mengomentari soal status dirinya yang kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Bareskrim Polri. Pria yang kabarnya terlacak berada di Jerman itu, dalam video di kanal YouTube Hagios Europe, melecehkan agama tertentu, dalam hal ini agama Islam.
Kalimat yang disampaikan dalam tayangannya itu benar-benar membuat emosi para pemeluk agama Islam. Dalam perspektif sosial, ia sejatinya sudah harus tahu bahwa hal itu termasuk dalam sisi kehidupan yang bersifat sangat sensitif. Entah dengan motivasi apa, ia dengan sengaja melanggar dan masuk dalam wilayah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), yang harusnya tidak perlu dibicarakan, karena tentu hanya akan mendatangkan kebencian dan menciptakan sentimen komunitas.
Sejauh ini respon penegak hukum Indonesia sangat cepat, untuk mencegah tindakan massa yang lebih jauh. Proses penangkapan dan pemulangan yang bersangkutan, karena masih berstatus sebagai WNI sedang dilakukan, untuk di proses di Tanah Air. Dalam kasus ini Polri telah menyerahkan Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Jozeph kepada Interpol.
DPO itu menjadi dasar diterbitkannya rednotice. Untuk itu, kepada seluruh masyarakat diminta tak terprovokasi video penistaan agama tersebut. Kita serahkan sepenuhnya penanganan masalah ini kepada Polri yang sedang dalam proses penuntasan dengan terus berupaya melakukan pengejaran terhadap Jozeph.
Ujaran Kebencian dan UU ITE
Jelas Jozeph harus mempertanggung jawabkan secara hukum perbuatan yang menyakiti umat Muslim, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh penjuru dunia.
Secara yuridis, Jozeph Paul Zhang terancam hukuman maksimal enam tahun penjara ulah kicauannya yang diduga telah melakukan tindak pidana penistaan agama. Jozeph dipersangkakan dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 156a KUHP.
Ketentuan pasal inilah yang dipersangkakan kepada Jozeph. Unsur pasal yang bisa dikenakan, pertama, ujaran kebencian dalam UU ITE, dan juga Penodaan Agama yang ada di KUHP. Dikenakan UU ITE, khususnya Pasal 28 ayat 2. Kemudian KUHP tentang Penodaan Agama itu pasal 156 huruf a.
Ketentuan Pasal 28 Ayat 2 dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE itu sendiri isinya ialah bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu diatur dalam Pasal 45A ayat (2), yakni bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan, Pasal 156a KUHP, berbunyi; Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Wilayah abu-abu
Secara yuridis, penodaan terhadap agama bukan delik aduan (klacht delict). Keberadaannya sebagai delik umum tanpa pengaduan. Pihak penegak hukum bisa langsung melakukan proses hukum kepada pelaku penodaan atau penistaan terhadap agama. Namun secara normatif, sejatinya penanganan persoalan keagamaan di Indonesia memang masih membutuhkan formula yang tepat. Apalagi ketika politik dan kekuasaan masuk menjadi bagian yang meramaikan tindakan yang secara hukum masuk dalam wilayah penodaan agama. Keberadaannya menjadi bersifat abu-abu, tatkala frasa intoleran yang bersifat politis, dan radikalisme juga menjadi bagian dari upaya klarifikasinya.
Pada perjalanan penyelesaian terhadap jenis tindak pidana ini, banyak pemidanaan terhadap pandangan dan keyakinan individu tertentu dari religius minoritas, prosecuting believe (mengadili keyakinan) tersebut berakhir dengan vonis penjara.
Amnesty International pernah merilis bahwa di Indonesia setidaknya ada ratusan orang di pidana di bawah UU yang mengatur soal penodaan agama. Dalam beberapa kasus di Indonesia, kadang sulit dibedakan antara prosecuting believe (mengadili keyakinan) dan penodaan agama. Untuk itu, perlu kehati-hatian dalam menangani kasus-kasus tersebut, agar tidak mudah menabrak kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagai hak asasi manusia.
Dalam hal ini ada beberapa kasus di Indonesia yang bisa dikategorikan prosecuting believe (mengadili keyakinan), beberapa di antaranya menjadi isu nasional. Misalnya, kasus Ahmadiyah, Komunitas Millah Abraham, Yusman Roy, LDII, Jamiyatul Islamiyah, Ahmad Tantowi dari Cirebon (Surga Adn), Hidup di Balik Hidup, Syiah di Sampang, Salamullah (Lia Eden), Al-Haq, Millah Ibrahim, Gafatar, pengakuan nabi oleh Jari dari Jombang, dan lainnya.
Memang, sebagai rujukan dalam memberikan perlindungan terhadap agama, sejak lama telah dikeluarkan Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta KUHP Pasal 156a yang menetapkan hukuman pidana atas penistaaan agama. Sebagian pihak menyebut UU tersebut dibutuhkan untuk melindungi agama. Namun, sebagian lainnya menilai, UU itu potensial disalahgunakan untuk memberangus kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Menjaga rasionalitas
Untuk tindakan Jozeph sudah jelas, menista atau melakukan penodaan agama. Untuk itu, menggarisbawahi himbauan pihak berwajib, khususnya Polri, hendaknya umat Islam tidak terpancing melakukan hal-hal yang bersifat berlebihan atau kontra produktif.
Untuk itu, disamping masyarakat secara praktis terus dihimbau untuk tidak terprovokasi, juga memang harus ada tindakan tanggap, cepat, dan tegas merespons setiap ekspresi kebencian yang dapat berkembang liar melalui upaya-upaya rekayasa kebencian. Hal ini diperlukan sebagai upaya mencegah aksi vigilante (main hakim sendiri atau menekan melalui mobilisasi massa atas nama penegakan hukum).
Berbagai tindakan yang bermuatan kebencian atas nama agama, ras, dan etnis harus segera dikenali dan diantisipasi. Segera menyelesaikannya berdasarkan peraturan perundangan secara konsisten. ***
* Penulis adalah Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah
Be the first to comment