Jakarta, innews.co.id – Ruwetnya perizinan berinvestasi di Indonesia mendapat kritikan tajam dari Presiden Joko Widodo. Tidak tanggung-tanggung, kabarnya ada 259 surat/dokumen atau sejenisnya yang dibutuhkan seorang investor untuk membuat pembangkit listrik di Indonesia.
“Pernyataan Bapak Presiden merupakan koreksi yang bukan hanya ditujukan kepada PLN, tapi semua pihak yang berkepentingan terhadap investasi di Indonesia, mulai dari pemerintah daerah, kementerian/lembaga, dan lainnya,” kata Dr. John N. Palinggi pengamat politik dan ekonomi nasional kepada innews, Kamis (21/10/2021).
Menurutnya, pernyataan Presiden yang tegas itu bila tidak diindahkan oleh pihak-pihak terkait bisa berdampak besar pada perusahaan atau lembaga, terutama pemimpinnya.
John yang juga Presiden Direktur PT Karsa Mulindo Semesta Group ini menambahkan, dulu memang ada mafia besar dibalik PLN. Ada semacam ‘sindikat’ yang dibangun oleh mafia ini di dalam lingkaran BUMN tersebut, sehingga terkesan terjadi monopoli dalam membangun pembangkit listrik, khususnya di wilayah Sulawesi.
“Jadi, bila ada pembangkit listrik yang dibangun tanpa ‘restu’ mafia ini, suka disabotase atau perizinannya dipersulit,” tutur John seraya mengatakan kalau sekarang sudah lebih baik.
Dia menyoroti efektifitas pinjaman PLN yang mencapai Rp560 triliun. Bagi John, dengan dana sebesar itu, harusnya PLN sudah bisa memiliki ratusan pembangkit listrik sendiri. Sayangnya, di Indonesia, kebanyakan pemilik pembangkit listrik adalah swasta, sementara PLN hanya mengambil selisih harga saja.
Dikatakannya, apapun pembiayaan yang dilakukan dari dana APBN harus dilihat apa manfaat, efektifitas, dan efisiensinya. “Menteri BUMN sudah menekankan bahwa pondasi melakukan kegiatan di BUMN adalah akhlak. Kalau tidak berakhlak bagaimana bisa benar menjalankan tugasnya,” tegas John.
Dirinya menilai, akhir-akhir ini PLN sudah berubah menjadi lebih baik. Banyak urusan terkait pembangkit listrik prosesnya cukup cepat. “Semoga perubahan itu bisa berlangsung terus dan menjadi lebih baik lagi,” tukas John.
Dia melihat justru saat ini yang berpotensi menjadi masalah dalam hal investasi adalah perilaku dan kebijakan penegakan hukum yang tidak terukur dan kurang memperhatikan asas manfaat. (RN)
Be the first to comment