Jakarta, innews.co.id – Keluarnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73 Tahun 2015 dan wacana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) yang digulirkan oleh Tim Percepatan Reformasi Hukum yang diketuai Deputi III Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, dinilai sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap dunia advokat.
Para advokat yang terhimpun dalam Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) sepakat menolaknya. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikadin Adardam Achyar, pada menyelengarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tahun 2023, di Aston Kartika Grogol Hotel, Jakarta, Jumat 17 November 2023.
“Kami jelas menolak SK MA 73/2015 dan wacana DAN karena sudah melanggar UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” kata Adardam.
Dikatakannya, Ikadin konsisten mendukung single bar yang terwujud dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). “Ikadin selalu konsisten mendukung Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat/OA (single bar), sebagaimana yang dimanatkan oleh UU 18/2003 dan telah diberikan penguatan konstitusional dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.
“Ikadin mendukung single bar dengan alasan dan tujuan agar terdapat standarisasi dalam bidang Pendidikan Advokat, Ujian Advokat, Pengangkatan Advokat, Pengawasan Advokat dan Penindakan Advokat,” bebernya.
Penolakan terhadap SK MA 73/2015 dan DAN juga disampaikan Prof Otto Hasibuan, Ketua Umum DPN Peradi sekaligus Ketua Dewan Pembina Ikadin. “Itu upaya pembungkaman terhadap daya kritis advokat, sekaligus penguasaan terhadap organisasi advokat yang harusnya independen,” kata Prof Otto.
Tak hanya itu, Prof Gayus Lumbuun, mantan Hakim Agung juga menolak keberadaan multi-bar. “Spirit UU 18/2003 adalah single bar. Kalau faktanya multi-bar, jelas sudah menyimpang,” tegasnya.
Hal senada dikatakan Habiburokhman Anggota Komisi III DPR RI. “Konsep single bar sudah paling tepat. DPR akan membantu teman-teman advokat untuk bisa mencarikan solusi agar kenyataan di lapangan tidak berbanding terbalik. Silahkan surati Komisi III DPR RI, nanti akan coba kami bahas,” serunya.
Berbagai agenda
Dalam Rakernas yang mengusung tema ‘Melalui Rakernas IKADIN 2023, IKADIN memperkokoh kedudukan Peradi sebagai satu-satunya Organisasi Advokat’ ini dibahas sejumlah agenda penting, termasuk mengadakan evaluasi untuk hal-hal yang sudah dijalankan selama ini.
Salah satu yang dikupas adalah soal
penguatan cabang-cabang Ikadin di seluruh Indonesia dengan tujuan agar keberadaan Ikadin sebagai OA perjuangan dapat dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan, dalam bentuk memberikan bantuan hukum yang profesional, merakyat, berintegritas, dan berkeadilan. Diharapkan advokat Ikadin tidak boleh terjebak atau larut dalam suasana paradigma hedonis yang berpotensi menjadi berjaraknya advokat dengan masyarakat kecil pencari keadilan. Sempat juga dikritisi soal keberadaan Ikadin di DPC-DPC, di mana di beberapa tempat dinilai kurang solid.
Dibahas pula soal sikap IKADIN terhadap kondisi dan kualitas penegakkan hukum saat ini yang bertalian dengan keadilan, kepastian hukum, hak asasi manusia, dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rakernas juga membahas pola dan strategi untuk merekrut advokat muda (generasi milenial) untuk kemudian dapat diberikan pemahaman dan ditanamkan kesadaran agar menjadi advokat jangan hanya semata-mata untuk mendapat honorarium/fee, tetapi pada saat yang sama juga tidak boleh abai memberikan bantuan hukum dan penyuluhan hukum kepada masyarakat kecil yang mendapat kesulitan untuk memperoleh akses hukum dan keadilan.
Tak hanya itu, Ikadin juga menyoroti semakin merosotnya moral dan integritas penegak hukum yang terjadi dari pertengahan 2022 sampai dengan saat ini. Beberapa kasus yang benar-benar telah menjadi sorotan publik dan mengusik rasa keadilan masyarakat antara lain: kasus Jenderal Polisi yang terlibat dalam pembunuhan anak buahnya, kasus Jenderal Polisi yang terlibat jaringan peredaran narkotika, beberapa orang Hakim Agung, hakim dan advokat terkena OTT KPK dalam kasus suap pengurusan perkara, dan ada Guru Besar Hukum (pakar hukum pidana) yang juga Wakil Menteri Hukum Dan HAM yang menjadi tersangka perkara gratifikasi/suap, sampai dengan terakhir 9 orang Hakim MK oleh Majelis Kehormatan MK dinyatakan melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi.
Ikadin berharap agar pemerintah dan legislatif jangan hanya terjebak dalam rutinitas menyusun UU terkait dengan korupsi dan dari waktu ke waktu, menyusun undang-undang yang bersifat kriminalisasi, yang kesemuanya ternyata telah terbukti tidak mampu memberantas dan menekan kasus korupsi. Alih-alih memberantas dan menekan kasus korupsi, justru sekarang semakin hari kasus korupsi semakin meningkat, merajalela, mulai dari kerugian negara puluhan juta sampai dengan triliunan rupiah, mulai dari pegawai rendahan sampai dengan pejabat tinggi negara, terutama pejabat tinggi di lingkungan penegak hukum.
“Sudah saatnya kini pemerintah dan DPR merumuskan dan menyusun peraturan perundang-undangan yang subtansinya berkaitan dengan pembangunan mental dan moral yang dapat meningkatkan kejujuran dan budaya malu. Jangan hanya berpaku kepada penindakan, tetapi harus secara sungguh-sungguh dimulai dari upaya pencegahan,” ujar Ikadin dalam siaran persnya. (RN)
Be the first to comment