Jakarta, innews.co.id – Sejatinya, hakim akan mensahkan seorang terdakwa bertindak sebagai justice collaborator (JC) bila dianggap bisa memiliki manfaat. Bila tidak, hakim bisa menolaknya.
“Seorang JC harus memberi manfaat dalam penanganan suatu perkara,” ungkap Prof Gayus Lumbuun pakar hukum pidana dan Hakim Agung 2011-2018, dalam keterangan resminya, di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Gayus mencontohkan, seorang JC pada perkara korupsi tetap harus mengembalikan secara utuh semua korupsinya, baru bisa berperan mengungkap kasus-kasus dengan terdakwa lainnya. Itu yang dianggap bermanfaat. Dengan menjadi JC, diharapkan korupsi yang dilakukan terdakwa lain pada kasus yang sama bisa terungkap dan uangnya dikembalikan kepada negara.
Demikian juga terhadap Richard Eliezer, terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Hutabarat, yang oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dijadikan sebagai JC. “Nanti hakim akan menilai apakah Eliezer bermanfaat atau tidak, sehingga layak disebut sebagai JC,” tutur Gayus.
Saat ini sudah menjadi tren orang menjadi JC. “Yang mau jadi JC jumlahnya bisa ribuan, tapi yang disahkan oleh hakim kalau tidak salah tidak sampai 200 orang. Itu artinya ada pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan seseorang layak tidak menjadi JC. Jangan-jangan mau jadi JC hanya supaya hukumannya diperingan saja,” ujar Anggota DPR RI periode 2004-2014 ini.
Gayus meminta agar masyarakat memahami sebab seseorang dijadikan berkedudukan sebagai JC. Bukan diberikan ekspektasi terlalu tinggi tentang menjadi seorang JC. Faktanya, Jampidum sendiri di beberapa pemberitaan menilai sebagai pelaku penembakan Brigadir Yosua pertama sebenarnya Richard Eliezer tidak bisa menjadi JC.
Akan tetapi, sambung Gayus, semua berpulang pada hakim bagaimana nanti memutusnya. Dalam tuntutannya, JPU mengatakan hukuman 12 tahun penjara kepada Eliezer. Sontak pro kontra bermunculan. Banyak orang menaruh simpatik dan memprotes tuntutan tersebut. Sampai-sampai 100-an guru besar harus ‘turun gunung’ dengan label Aliansi Akademisi Indonesia (AAI) dan ‘mewakafkan’ dirinya menjadi amicus curiae demi membela Eliezer.
Secara harfiah, amicus curiae berarti ‘friends of court’ atau sahabat pegadilan. “Itu dimungkinkan bila tidak sedang menangani perkara. Tapi bila hakim tengah menangani perkara, apalagi kasus yang pelik seperti pembunuhan Brigadir J ini, tentu tidak diperbolehkan orang menjalin relasi, apalagi bersahabat dengan pengadilan.
Anehnya, para guru besar tersebut secara khusus malah menyurati Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan meminta agar hukuman Eliezer diperingan. Kenapa tidak menyurati Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sehingga bisa memberikan pengawasan, tidak langsung menyurati Ketua Majelis Hakim PN Jaksel.
“Itu sudah melanggar independensi pengadilan. Dalam menangani suatu perkara, hakim dan pengadilan harus independen, imparsial, dan steril. Tidak boleh memakai cara-cara tertentu untuk mempengaruhi, apalagi menekan hakim” tegas Gayus mengingatkan.
Apa yang dilakukan guru besar ini benar-benar sudah menyalahi dan berpotensi merusak lembaga peradilan. Gayus menyayangkan karena dalam kumpulan para guru besar itu ikut serta juga banyak orang-orang yang berkiprah di dunia hukum.
“Menjadi JC bukan taken for granted. Sebab, ada syarat-syarat untuk menjadi JC dan itu harusnya menjadi pertimbangan hakim, terlebih soal kemanfaatannya,” serunya.
Ditambahkannya, diluaran sudah diframing bahwa menjadi JC akan mendapat pengurangan hukuman, bahkan mungkin dibebaskan. “Jelas ini pendapat yang tidak sepenuhnya benar. Sebab, hakim juga harus melihat bahwa Eliezer juga menjadi pelaku utama yang menembak Yosua pertama kali sebanyak 4 kali. Ini harus menjadi pertimbangan hakim juga,” tandas Gayus.
Diakuinya, di Indonesia masih membingungkan dalam menentukan seorang menjadi JC. Sebab, ada 3 pihak yang punya hak menentukan, mulai dari penyidik, jaksa, dan LPSK. “Saya mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar segera membentuk lembaga khusus untuk JC. Ini penting karena kedepan akan ada banyak orang yang memilih menjadi JC. Kalau tidak ada lembaga khusus, maka akan membingungkan dan akibatnya akan banyak JC ditolak oleh hakim karena dinilai tidak layak dan tidak memberi manfaat,” urai Gayus.
Dia meyakini, bila ada lembaga khusus untuk JC, maka wadah tersebut nantinya yang akan menilai seorang layak atau tidak diajukan sebagai JC. “Wacana ini harus digulirkan sehingga bisa dibentuk UU bagi lembaga khusus untuk JC,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment