Habib Adjie Dinilai Bikin Ruwet Masalah IPPAT, TPP: “Stop Komentar yang Bias, Fokus Jalankan Kesepakatan Damai Saja”

Logo IPPAT

Jakarta, innews.co.id – Pendapat-pendapat yang berseliweran di media sosial terkait perdamaian di perkumpulan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), cenderung memperumit masalah. Sejatinya, sebagai orang yang mengerti hukum, harusnya sudah paham, bahwa telah ada kesepakatan yang ditandatangani bersama para pihak di hadapan Kementerian ATR/BPN, Senin, 21 Desember 2020. Itu menjadi hal yang harus dijalankan. Jangan justru memperkeruh masalah dengan pendapat-pendapat yang bias.

Hal itu secara lugas menjadi peringatan yang disampaikan Tim Pembela Putusan (TPP) dalam rilisnya kepada innews, Ahad (3/1/2021). Paling baru yang dikritisi adalah telaah pemikiran Dr. Habib Adjie yang diangkat di media online Kabar Notariat.

“Pendapat Habib Adjie tidak memakai alur berpikir ilmu hukum (ketentuan hukum yang berlaku) dan teori hukum (asas dan falsafah hukum). Karena jika memakai alur berpikir ilmu hukum dan teori hukum, maka tidak akan menjadi bias dan menambah rumit penyelesaian objek masalah yang dibahas. Ilmu hukum dan teori hukum lahir dan dikembangkan adalah ditujukan menyelesaikan masalah bukan untuk menambah masalah,” kata Dr. Taufan Riyanto, SH., MKn, anggota TPP.

Dijelaskan, salah satu keputusan PN Jakarta Barat dalam perkara No. No.694/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Brt, adalah hasil kongres (bukan keputusan kongres) batal demi hukum. “Itu artinya, dianggap oleh hukum tidak pernah ada dan tidak pernah mempunyai akibat hukum. Dengan begitu, maka segala sesuatunya kembali kepada sebelum putusan/keputusan/hasil tersebut diputuskan/diperjanjikan/dibuat keputusannya,” terang Taufan.

Yang disebut hasil kongres, lanjutnya, antara lain terpilihnya formatur Ketua Umum IPPAT dan terpilihnya MKP IPPAT (tapi belum dilantik), sehingga secara hukum formal MKP belum merupakan produk/hasil Kongres IPPAT VII.

Lalu, bagaimana nasib konferwil/konferda sebagai turunan Kongres VII? Menurut Taufan, ada dua sisi. “Pertama, secara yuridis formal konferwil/konferda tersebut adalah cacat prosedur. Karena konferwil/konferda adalah lanjutan dari satu kongres, maka itu tidak dapat dilakukan jika kongresnya belum selesai atau cacat hukum,” urainya.

Kedua, karena asas hukum di perkumpulan yang berbasiskan anggota bahwa suara anggota adalah yang tertinggi di kongres/konferwil/konferda, maka secara de facto bila konferwil telah dilaksanakan, maka ketua pengwil terpilih adalah ketua saat ini. “Jadi, argumen Habib Adjie bahwa tidak ada ketua pengwil/pengda, tidak sepenuhnya benar. Justru salah satu urgensi dari KLB yang akan diadakan yaitu, mengukuhkan Ketua Pengwil terpilih dalam konferwil yang cacat prosedur tersebut,” paparnya lugas.

Berkaca pada hal tersebut, sambungnya, pemikiran Habib Adjie tidak bisa dipakai untuk mengatasi dan mengakhiri persengketaan yang ada dalam tubuh IPPAT.

“Sampai kini, konsep perdamaian dan KLB yang diinisiasi oleh Kementerian ATR/BPN RI, masih yang terbaik yang dapat menyelesaikan sengketa Kongres IPPAT VII secara menyeluruh,” tukas Taufan seraya mengajak semua pihak untuk bersama menyelesaikan masalah IPPAT tanpa masalah. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan