Hakorda 2021, Dr. John Palinggi: “Korupsi di Indonesia Sudah Kronis, Benahi Legislasi!”

Pengamat sosial, politik, ekonomi, dan keamanan nasional Dr. John N. Palinggi, MM., MBA

Jakarta, innews.co.id – Semakin banyak pihak menyatakan, korupsi menjadi ancaman terbesar di negara ini. Terakhir, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, banyak investor menahan diri karena hambatan utama di Indonesia adalah korupsi.

“Berkaca pada pernyataan Menkeu tersebut, rasanya perlu dipertanyakan bila konon kabarnya ada investasi Rp900 triliun yang masuk ke Indonesia. Jangan-jangan yang dimaksud investor itu hanya di pasar modal saja,” kata Dr. John N. Palinggi pengamat politik ekonomi nasional kepada innews, di Jakarta, Kamis (9/12/2021).

Karenanya, John menyarakan agar soal investasi yang masuk itu harus benar-benar diteliti. Jangan jadi kebohongan atau cuma menyenangkan telinga Presiden saja.

Sebuah negara bisa maju, ungkap John, bukan karena pejabatnya mengenyam pendidikan yang tinggi, kecanggihan senjata, ahli politik atau ekonomi. Tapi landasan pemerintahannya adalah kejujuran. “Negara-negara maju di dunia salah satu faktornya karena sejak kecil anak-anaknya sudah dididik jujur. Sehingga sampai besar, bahkan diberi kepercayaan di pemerintahan atau perusahaan tetap jujur. Apa yang dikerjakan mampu memberi nilai tambah. Kalau sebagai pejabat negara, mereka bisa membuat rakyatnya tersenyum karena ada rasa keadilan dan persamaan,” terang John yang juga dikenal sebagai sebagai Ketua Umum DPP Asosiasi Rekanan Dagang dan Distributor Indonesia (ARDIN) ini.

Di Indonesia, kata John, justru orang-orang yang harusnya menjaga negara, malah dia menciderai negara begitu besar. Mereka menggarong uang rakyat begitu luar biasa. Anehnya lagi, semakin banyak uang negara dicuri, oknum tersebut kian kebal terhadap hukum.

John mencontohkan dugaan korupsi di Jiwasraya dan Asabri. “Mungkin orang tidak tahu siapa oknum dibalik itu. Dalang utamanya tidak tersentuh. Itu kejahatan yang harus dibuka selebar-lebarnya. Ungkap siapa dalangnya, bukan wayangnya yang dihukum mati,” tegas John, mantan pengajar di BIN dan Lemhannas ini lugas.

Demikian juga dalam hal pengadaan barang, lanjutnya, sekarang ini kebanyakan bukan ditender, tapi penunjukkan langsung yang rentan terhadap korupsi. “Parahnya lagi, Bapak Presiden sudah menyerukan agar memakai produk dalam negeri. Tapi yang ada oknum senangnya impor dari luar. Ini dilakukan agar harga bisa di mark-up dan sulit ditelusuri,” beber John lagi.

Dia menegaskankan, pengadaan barang merupakan lahan terbesar pencurian uang negara yang terstruktur dan massif.

Yang tak kalah mengejutkan, banyak instansi pemerintah kerjanya minta tambahan anggaran ke Kemenkeu. Bahkan sampai-sampai harus hutang ke bank dalam negeri. “Patut diduga ada upaya pencucian uang dari pihak-pihak tertentu. Karena sebenarnya anggaran kan sudah disusun, kenapa harus minta-minta lagi,” serunya.

John menyarankan agar segera dilakukan perubahan legislasi agar tingkat korupsi di Indonesia bisa turun. “Selama legislasinya tidak direvisi, sulit mengharapkan bisa membasmi korupsi di Indonesia,” tukasnya.

Dari sisi hukuman pun harus berjenjang. Misal, korupsi Rp 1 miliar dihukum 10 tahun penjara, Rp 2 miliar dikenakan 20 tahun, Rp 3 miliar dikerangkeng 30 tahun. Diatas Rp 3 miliar, hukuman seumur hidup. “Kalau keluarganya tahu, koruptor itu hidup mewah sementara gajinya kecil, maka keluarganya itu pun harus diberi hukuman 10 tahun penjara,” seru John.

Begitu juga, bagi penegak hukum yang terbukti memihak kepada koruptor, harus dikenakan hukuman minimal 15 tahun penjara. “Sekarang hukuman maksimal kan 20 tahun, itu harus dirubah jadi minimum 20 tahun,” tandasnya.

Demikian juga John mengusulkan ada penjara khusus bagi para koruptor dan tidak ada pengurangan hukuman. Selama ini, hukum di Indonesia juga lemah. Padahal, korupsi termasuk extra ordinary crime, sama seperti kejahatan narkoba. Yang ada, sekarang, sepertinya ada excused law, dengan alasan penjara penuh, sehingga pemakai narkoba tidak perlu ditahan, cukup menjalani rehabilitasi saja.

John juga mengkritik sikap KPK yang justru masuk ke instansi-instansi pemerintah, seolah menjadi konsultan yang mengawasi. Padahal, itu membuka celah terjadinya kerjasama untuk melakukan kejahatan korupsi. “Pengawasan itu tugas inspektorat jenderal, bukan KPK,” seru John.

Harusnya, sambung John, KPK membentuk divisi investigasi intelijen untuk mendalami setiap informasi yang diperoleh.

Hal yang menggelikan, kata John, setiap heboh korupsi, BPK ikutan turun. Padahal, BPK tidak punya kualifikasi untuk mengaudit. Karena yang diaudit sifatnya prosedur administrasi. “Jadi, BPK pun bisa dihukum, bila hasil auditnya positif, padahal yang diaudit ditangkap karena melakukan korupsi,” ucapnya.

John memastikan, sepanjang tidak ada perubahan legislasi, percuma saja. “Kalau di luar negeri, koruptor dihukum berat, sampai potong tangan. Di Indonesia, koruptor malah dipotong masa tahanannya,” celetuk John miris. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan