Jakarta, innews.co.id – Di setiap Perayaan Idul Fitri, sebuah pemandangan yang sangat luar biasa adalah tatkala semua orang ramai-ramai mengucapkan Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Ini menjadi hal yang agak kontradiktif dengan keseharian.
Bagi Dr. Tintin Surtini, SH., MH., M.Kn , Notaris/PPAT Senior di Ibu Kota, Idul Fitri seolah menyadarkan semua insan–terkhusus umat Muslim untuk merasa betapa dirinya memiliki dosa dan kekhilafan terhadap sesama. “Ini bukan sesuatu yang direncanakan. Terjadi alami sebagai bentuk pengakuan seseorang kepada yang lainnya,” kata Tintin yang juga dikenal sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi swasta ini, kepada innews, Sabtu (15/5/2021).
Dia menambahkan, di masa Idul Fitri, tidak ada seorang pun yang merasa benar. Semua mengaku punya salah, dan tanpa malu-malu meminta maaf.
“Betapa damainya negeri ini apabila ‘roh Idul Fitri’ selalu menjadi marwah dalam kehidupan sehari-hari seluruh warga Indonesia, baik di rumah maupun di lingkungan pergaulan, bahkan pekerjaan,” kata Tintin.
‘Roh’ yang dimaksud adalah spirit untuk mau mengakui kekeliruan dan meminta maaf kepada sesama. Tintin mengingatkan, sejatinya, meminta maaf tak harus saat Idul Fitri saja. Dalam QS Ali ‘Imran: 133, dikatakan, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”.
Tintin mengajak semua insan, “Mari kita biasakan menjadi orang yang suka berani mengakui kesalahan, bukan orang yang selalu merasa benar atau paling hebat”.
Lebih jauh Tintin menjelaskan, memaafkan adalah proses untuk menghentikan perasaan dendam, jengkel, atau marah karena merasa disakiti atau didzalimi. Lebih dari itu, pemaafan juga proses menghidupkan sikap dan perilaku positif terhadap orang lain yang pernah menyakiti.
Tidak itu saja, Nashori (2014) mengatakan, pemaafan dapat diartikan kesediaan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang bersumber dari hubungan interpersonal dengan orang lain dan menumbuhkembangkan pikiran, perasaan, dan hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain yang melakukan pelanggaran secara tidak adil.
Memaafkan memang tidak mudah. Butuh proses dan perjuangan untuk melakukannya. Adanya kebaikan bagi diri kita dan orang lain akan menjadikan memaafkan menjadi sesuatu yang mungkin dilakukan. Seorang ahli psikologi dari Universitas Stanford California, Frederic Luskin (Martin, 2003), pernah melakukan eksperimen memaafkan pada sejumlah orang.
Hasil penelitian Luskin menunjukkan bahwa memaafkan akan menjadikan seseorang: (a) Jauh lebih tenang kehidupannya; (b): tidak mudah marah, tidak mudah tersinggung, dan dapat membina hubungan lebih baik dengan sesama. Dan yang pasti (c) semakin jarang mengalami konflik dengan orang lain.
Para ahli psikologi mempercayai bahwa memaafkan memiliki efek yang sangat positif bagi kesehatan. Pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu karakter positif yang membantu individu mencapai tingkatan optimal dalam hal kesehatan fisik, psikologis, dan spiritual.
Pada beberapa tahun belakangan, pemaafan semakin populer sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan emosi negatif seperti marah, depresi, rasa bersalah akibat ketidakadilan, memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan (Walton, 2005). Pemaafan selanjutnya secara langsung mempengaruhi ketahanan dan kesehatan fisik dengan mengurangi tingkat permusuhan, meningkatkan sistem kekebalan pada sel dan neuro-endokrin, membebaskan antibodi, dan mempengaruhi proses dalam sistem saraf pusat (Worthington & Scherer, 2004).
(RN)
Be the first to comment