
Jakarta, innews.co.id – Fenomena kekerasan seksual ibarat gunung es. Diyakini yang tertungkap baru di permukaan saja, sementara dibawah sudah demikian menggurita. Untuk itu, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) diharapkan bisa segera disahkan.
Penegasan ini disampaikan Pendiri sekaligus Ketua Umum Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) Nur Setia Alam Prawiranegara dalam keterangan resminya yang diterima innews, Senin (13/12/2021). “Tidak ada alasan untuk tidak segera mensahkan RUU PKS, di mana RUU tersebut mempunyai tujuan agar korban dapat terlindungi hak, perlindungan hukum, keadilan, dan pemulihan dirinya,” kata Nur Alam.
Tak hanya itu, pelaku kekerasan seksual juga dihadapkan dengan hukuman yang berat. Bukan sebagai bentuk balas dendam, tetapi suatu konsekuensi akan perbuatannya tersebut.
Nur Alam menilai, dengan terus bertambahnya korban dan pelaku, maka sangat jelas saat ini Indonesia tengah mengalami darurat kekerasan seksual. “Sahkan segera RUU PKS sesegera mungkin,” tegasnya.
Dia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Ustaz berinisial HW terhadap 12 santriwati dalam kurun waktu yang lama. Diduga korban tidak mampu berbuat apa-apa, karena mengalami goncangan jiwa, atau tertekan.
Ketum IFLC ini sangat menyayangkan kejadian tersebut baru diketahui setelah viral di berbagai media sosial. Ada kesan sengaja ditutupi oleh pihak yang berwenang. Bahkan hal itu telah diakui dalam beberapa pemberitaan berita dengan alasan kasihan terhadap korban jika dipublikasikan.
Menurut Nur Alam, seharusnya Polda Jawa Barat lebih peduli kepada korban, bukan dengan menutupi suatu peristiwa perbuatan melawan hukum. “Mengapa harus tetap diungkapkan agar memberi efek jera kepada pelaku dan calon pelaku, serta memberikan sinyal informasi kepada para korban lainnya, maupun yang kemungkinan bisa saja hampir menjadi korban,” tuturnya.
Dikatakannya, alasan khawatir terhadap kondisi korban bukanlah suatu alasan yang masuk logika hukum. Karena semua hal telah tertuang dalam aturan, tinggal bagaimana menyampaikan dengan lugas kepada masyarakat sehingga tidak perlu ungkapkan identitas korban sebagaimana tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 3 Huruf I jo Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 61 ayat (2) yang pada intinya setiap Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi dalam proses peradilan pidana berhak untuk tidak dipublikasikan Identitasnya, bahkan media massa hanya menggunakan inisial tanpa gambar.
Bahkan, lanjutnya, Pelapor wajib dilindungi identitasnya sebagaimana UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 Ayat (1) huruf i dan (3), yang mana merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Melalui pemberitaan, Nur mengetahui bahwa Pelaku didakwaprimer melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta dakwaan subsidair, Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Lebih jauh Nur Alam berharap, MUI tidak cukup mengutuk perbuatan tersebut, akan tetapi memberikan sanksi yang berat kepada pelaku, bahkan melakukan pemeriksaan kepada setiap lembaga pendidikan baik sekolah regular maupun asrama, sebagai salah satu upaya menghindari perbuatan tersebut berkolaborasi dengan para ahli dan relawan untuk penanggulangan kekerasan seksual. “Lebih baik lagi MUI menyatakan dengan lantang setuju segera disahkan RUU PKS menjadi UU untuk meminimalisir bahkan menghilangkan Kekerasan Seksual yang terjadi di Indonesia,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment