Ini Isi SEMA Kontroversial yang Dikritik Praktisi Hukum

Isi SEMA 3/2023 pada poin 2 yang kontroversial dan menuai kritik dari para praktisi hukum

Jakarta, innews.co.id – Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang diteken Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin, 29 Desember 2023, menuai kontroversi di kalangan praktisi hukum, kalangan perbankan, dan masyarakat.

Dalam SEMA tersebut dikatakan, aturan tersebut dibuat berdasarkan Rapat Pleno Kamar pada 19-21 November 2023, yang membahas permasalahan teknis yudisial dan non-yudisial yang mengemuka di masing-masing kamar.

Pada rumusan hukum kamar perdata di poin Perdata Khusus, terkait Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU), khususnya poin (2) disebutkan, “Permohonan pernyataan pailit ataupun PKPU terhadap pengembang (developer) apartemen dan/atau rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.

Suasana Seminar Nasional 2024 terkait SEMA 3/2023 yang digagas oleh Resha Agriansyah Learning Center di Habitare, Kuningan, Jakarta, Jumat (8/3/2024)

Keluarnya aturan ini sontak menuai kritikan dari berbagai pihak, khususnya para praktisi hukum. Hal itu tercermin dalam Seminar Nasional 2024 yang digagas oleh Resha Agriansyah Learning Center (RALC), di Habitare Hotel Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/3/2024).

“Ada dua pelanggaran SEMA 3/2023 ini. Pertama, itu bukan termasuk dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan. Kedua, aturan tersebut justru menabrak perundang-undangan yang ada. Persoalannya, ketika SEMA yang sejatinya hanya peraturan di dalam lingkungan MA saja lantas diterapkan di lembaga peradilan, tentu akan berdampak bagi publik,” terang Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, Ahli Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia, yang menjadi salah satu narasumber pada Seminar Nasional 2024 tersebut.

Idealnya, kata Fitriani, yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan, bukan SEMA. Pun SEMA harusnya dibuat tidak menabrak UU yang ada. Sebab lingkupnya hanya untuk internal hakim saja. Namun, menjadi meluas ketika itu diterapkan di pengadilan terhadap putusan hakim terhadap suatu perkara.

Para peserta Seminar Nasional mengkritisi SEMA 3/2023

“Jenis peraturan kebijakan seperti SEMA ini memang punya karakteristik seperti peraturan bayang-bayang. Dia tidak langsung mengatur masyarakat, tapi imbasnya pada publik. Kalau memang mau, harusnya UU-nya saja yang dirubah, tidak harus membuat SEMA yang justru menabrak UU yang ada,” tegas Fitriani.

Ditekankan, karena imbas dari SEMA 3/2023 ini bisa merugikan masyarakat luas terkait putusan hakim, itu yang berbahaya dan harus diwaspadai. Kalau tidak bertentangan, silahkan saja bila hakim mau mengikuti.

Sementara itu, Prof. Dr. Hadi Subhan, Guru Besar Hukum Kepailitan Universitas Airlangga menilai, PKPU bagi developer/pengembang tidak bisa digeneralisir. “Selama ini, kehadiran Surat Edaran untuk mengisi kekosongan atau juga ada disparitas pelaksanaan dalam peraturan perundang-undangan. Namun, SEMA 3/2023 ini justru mendegradasi UU Kepailitan,” ujarnya.

Para praktisi hukum dan akademisi bersama menolak kehadiran SEMA 3/2023 tersebut

Dikatakannya, tidak semua developer beritikad baik. Untuk, developer yang jelas-jelas beritikad buruk, kenapa tidak bisa digunakan mekanisme PKPU/kepailitan?

“Soal pembuktian sederhana itu kan ada di pengadilan. Namun, tidak bisa juga diabaikan dan/atau dianggap pembuktian sederhan jadi tidak berlaku di pengadilan,” tukasnya.

Hadi mengusulkan dibuat klasterisasi terkait developer/pengembang yang nakal atau memenuhi kualifikasi untuk di pailitkan. Bisa saja dalam SEMA 3/2023 itu dijabarkan klaster-klaster tersebut secara rinci. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan