Jakarta, innews.co.id – Membangun sebuah tim yang solid akan membuat pekerjaan lebih mudah dan efisien. Hal tersebut dipaparkan Koeshartanto, Chairman dan Chief Consultan KTalents.asia, perusahan jasa konsultan manajemen, dihadapan 100-an petugas Pilkada Serentak di wilayah Jakarta Timur, di Kantor Walikota Jaktim, Kamis (37/6/2024).
“Ajak dan ajar mereka esensi dari toleransi yaitu, bukan mencari kesepakatan tetapi mencari kesepahaman atau pengertian. Pengertian justru merupakan buah ketidaksepakatan,” ujar Koes–sapaan akrab motivator handal yang juga Chairman KTalents Asia ini.
Orang bijak mengatakan, “Seek understanding not agreement”. Mereka bebas menentukan pilihannya, tetapi tidak perlu memaksakan kehendaknya agar orang lain juga harus ikut pilihannya. Kebebasan berpendapat adalah inklusif, milik semua orang.
Kemudian gunakan metode 3E yaitu, Education, Empowerment, and Enlightment. Untuk menjalankan strategi 3E ini, lanjut Koes, penyelenggara Pilkada harus akrab dengan masyarakat dan para voters.
“Kompas pelayanan kepada masyarakat harus didasari pada kemampuan dan kepedulian atau competence and compassion,” imbuhnya.
Koes menyebutkan ada 5 tantangan Pilkada yakni, logistik, biaya, keamanan, integritas dan transparansi, serta keterlibatan masyarakat.
“Ada 5 alasan butuh komunikasi dan koordinasi yakni, efisiensi operasional, pencegahan konflik, konsistensi kebijakan, transparansi dan kepercayaan, serta respons kritis,” urai Koes, mantan Direktur SDM Pertamina ini.
Untuk dapat memahami dan memotivasi orang lain Koes menegaskan, perlu untuk mengenal diri kita dulu agar dapat berkomunikasi efektif.
Dia menjelaskan, komunikasi yang efektif dibangun dengan asas 3C yaitu, Control, Credibility, dan Charisma. “Kontrol ada di Bawaslu sebagai otoritas pengawas. Credibility ada di KPU sebagai pelaksana yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi. Sementara Charisma harus dibangun oleh partai politik dan calon pemimpin yang akan dipilih rakyat,” urainya.
Bahasa rakyat terhadap figur karismatik adalah yang akrab tidak angkuh, ada kesamaan keberagaman budaya, agama, adat istiadat dan tradisi, sederhana tidak nampang atau hedon serta tegas namun santun.
“Karisma ini justru ternyata memiliki daya pikat jauh lebih tinggi daripada Control dan Credibility. Terbukti, Presiden Jokowi secara tak terduga menjadi orang nomor satu di negeri ini. Padahal, ia hanya rakyat biasa,” tukas sosok yang telah malang melintang di top management berbagai perusahaan asing maupun BUMN ini.
Yang paling penting harus diingat bahwa power atau kekuasaan ada di tangan rakyat. Pemimpin dan penyelenggara negara yang amanah jika ingin dianggap powerful, maka ia harus membuat rakyatnya lebih powerful.
Paradoksnya kira-kira begini, “To gain power we must give away power. Power is to empower”. Selama para pemimpin sadar bahwa mereka adalah wakil atau proxy rakyat dan sadar bahwa rakyat meng-empower nya, maka kualitas demokrasi kita akan tumbuh dan bahkan dapat menjadi teladan dunia.
Sayangnya, kata Koes, kita masih merasakan abuse of power bukan use of power atau penyalahgunaan bukan penggunaan kekuasaan para elit ini.
Sebagai pesan paripurna Koes menyampaikan bahwa tidak ada peluang membangun silaturahmi yang lebih besar dari hajatan lima tahun sekali ini. “Kalau kita gagal menjaga kerukunan dan keakraban, maka semua rezeki, berkah, hikmah dan pahala tidak akan kita peroleh karena Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menyukai insannya yang memutuskan tali silaturahmi,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment