
Jakarta, innews.co.id – Tak bisa dipungkiri, lahirnya UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003, membuat para anggota Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), begitu bergairah.
Dikisahkan lanjut oleh Denny Kailimang, dalam proses menuntaskan misi KKAI, lahir satu OA yakni, Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI), sehingga yang tadinya 7 menjadi 8 OA. “Kedelapan OA tersebut kemudian mendeklarasikan pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia
(Indonesia Advocates Association) pada 21 Desember 2004,” papar Denny Kailimang salah seorang pelaku sejarah perjalanan OA di Indonesia kepada innews, Selasa (24/5/2022).
Deklarasi tersebut dituangkan melalui Akta Pendirian Peradi pada 8 September 2005. “Ketika itu dibentuk kepengurusan dengan periode 5 tahun (2005-2010). Ini sebenarnya menyimpang dari AD Peradi tentang tata cara pengangkatan Dewan Pengurus Nasional Peradi,” terangnya.

Ketika itu, lanjutnya, diangkat sebagai Ketua Umum pertama Peradi Otto Hasibuan dan Sekretaris Jenderal Harry Ponto. Namun dalam perjalanannya, mulai timbul masalah yang dimulai oleh Indra Sahnun Lubis (Alm) Wakil Ketua Umum Peradi, dengan mendirikan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Duduk sebagai Penasihat di KAI Adnan Buyung Nasution, yang pada waktu itu sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Dikisahkan Denny, sempat beredar info Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu akan menghadiri Kongres KAI. “Sontak Peradi mencoba menemui Presiden SBY, melalui Menteri Hukum dan HAM. Setelah bertemu, akhirnya diputuskan Presiden batal menghadiri Kongres KAI,” bebernya.
KAI kala itu terus meringsek dengan menggelar demo-demo ke Gedung MA untuk meminta calon-calon Advokat KAI bisa di sumpah di Pengadilan Tinggi. “Perseteruan Peradi dengan KAI pun berlanjut. Dan, baru berdamai dengan
menandatangani Pakta Perdamaian, sekitar awal tahun 2010 di hadapan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. “Saya ikut hadir dan mengambil ballpoint dari saku Menkumham,” ungkap Denny terbuka.
Tak hanya berkonflik dengan KAI, di internal Peradi sendiri juga muncul masalah, di mana ada ketidakcocokan antara Otto Hasibuan dengan Harry Ponto. Ini makin diperkuat dengan tidak hadirnya Sekjen Harry Ponto pada Munas Peradi di Pontianak, Kalimantan Barat, tahun 2010.
Masih multi-bar
Denny mengungkapkan, meski Peradi yang mengklaim sebagai wadah tunggal, amanat dari UU No.18/2003, telah lahir, namun OA-OA lainnya pun masih ada. “Peradi selalu mengklaim sebagai single bar, tapi faktanya OA-OA pendiri Peradi tidak bubar. Bahkan, masih ada hingga kini. Mana yang disebut single bar? Jadi jelas, multi-bar itu tetap berjalan, meski sudah ada Peradi,” urainya.
Bahkan, sambungnya, hingga kini telah lahir puluhan OA lain yang juga dapat melakukan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan melaksanakan Ujian Profesi Advokat (UPA), serta mengajukan calon advokat ke Pengadilan Tinggi untuk disumpah.
Legowo mundur
Pada awal 2010, Peradi mengadakan Munas I di Pontianak. Ada tiga calon Ketua Umum yang muncul yakni, Otto Hasibuan, Denny Kailimang, dan Henry Yosodiningrat. Setelah bertarung alot, tampil dua nama yang memperoleh suara terbanyak yaitu, Otto Hasibuan dan Denny Kailimang yang masuk putaran kedua pemilihan.
“Saat itu saya yakin sekali bisa menang. Namun, saya melihat situasi di tempat acara tidak kondusif. Karenanya, dengan sangat berat hati, saya menyatakan mundur sebagai Calon Ketum Peradi,” tutur Denny lagi.
Bukan perkara mudah bagi Denny Kailimang memutuskan mundur dalam pencalonan tersebut. Para pendukungnya merasa sangat kecewa. Namun, dengan jiwa besar, Denny coba berbicara hati ke hati dengan para pendukungnya dan minta mereka dapat memahami keputusan berat yang harus ia ambil. “Saya tahu itu sesuatu yang berat. Namun, keutuhan Peradi menjadi keutamaan bagi saya. Saya tidak mau apa yang sudah dirintis lama harus menjadi hingar-bingar. Saya memilih untuk mengalah. Prinsipnya, saya mengalah dengan terhormat dan semua demi Peradi,” akunya.
Akhirnya, Otto Hasibuan terpilih sebagai Ketum Peradi periode 2010-2015. Denny mengungkapkan, perjuangan yang ia lakukan di Munas I Peradi adalah perubahan Anggaran Dasar (AD) bahwa hak suara ada di anggota (one man one vote). “Otto tidak pernah secara terbuka menjabarkan apa hasil Munas I Peradi. Selain itu, tidak menjalankan hasil perdamaian dengan KAI,” bongkar Denny.
Tak heran, KAI terus berjuang agar para calon advokat di KAI dapat di sumpah oleh Pengadilan Tinggi. Akhirnya, KAI berhasil ‘menjebol’ Surat Edaran MA yang tadinya mengatakan, hanya calon advokat dari Peradi yang dapat mengajukan sumpah. KAI bisa mengajukan sumpah Calon Advokat KAI ke Pengadilan Tinggi. (IN)
Bersambung…….
Be the first to comment