JPU Boleh Ajukan PK, Peradi Siap Ajukan Judicial Review

Prof Otto Hasibuan Kuasa Hukum Moeldoko, kirim somasi ketiga kepada ICW

Jakarta, innews.co.id – Disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ternyata menuai polemik dan berpotensi menimbulkan kekacauan hukum di Indonesia.

“Kami menyesalkan kenapa Pemerintah dan DPR meloloskan pasal bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) boleh mengajukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK),” kata Otto Hasibuan Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), dalam keterangan resminya, Sabtu (11/12/2021).

Pasalnya, menurut Otto, peraturan perundang-undangan tersebut bisa menimbulkan kekacauan hukum karena sudah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Baginya, itu merupakan langkah mundur yang dilakukan Pemerintah dan DPR.

“Dengan adanya ketentuan tersebut, itu merupakan ketidakadilan. Dan secara tegas juga bertentangan dengan adanya putusan MK. Di mana putusan MK telah memberikan tafsir yang jelas tentang Pasal 263 KUHP. Tafsir terhadap KUHP Pasal 263 sudah jelas mengatakan bahwa PK itu hanyalah hak terpidana yang merupakan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia,” urainya.

Jadi, sambung Otto, jika masih ada lagi kewenangan kepada JPU untuk PK, maka akan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Karena ada beberapa pasal di dalam UU yang bertentangan satu dengan yang lainnya. “Dan akan mengulangi lagi kericuhan di dalam penerapan-penerapan hukum yang selama ini telah diperdebatkan oleh para ahli hukum, akademisi yang kerujuk kepada adanya putusan mahkamah konstitusi,” terangnya.

Ketum Peradi ini mengaku tidak mengerti bagaimana dasar berpikir dari para pembentuk undang-undang, bisa meloloskan pasal di UU tersebut di mana Jaksa boleh mengajukan PK. “Apakah mereka tidak tahu, tidak mempelajari adanya putusan MK yang sudah ada tentang hal ini. Sebab, hal tersebut berpotensi pula akan dibatalkan lagi oleh MK,” tegasnya.

Dia menjelaskan, MK tidak mungkin akan membuat dua pendapat yang berbeda terhadap satu soal. Artinya, dulu PK itu sudah dinyatakan haknya terpidana dan hari ini dinyatakan haknya Jaksa.

“Kalau sampai seperti itu, maka MK berarti juga tidak lagi menjadi lembaga yang kredibel dalam menangani perkara yang terkait dengan UU. Dan tidak bisa memberikan kepastian hukum,” tandasnya.

Peradi, kata Otto, berencana melakukan judicial review ke MK untuk membatalkan ketentuan tersebut. “Kami (Peradi) akan segera mempertimbangkan untuk segera mengajukan judicial review atas adanya ketentuan tersebut,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan