Jakarta, innews.co.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Stanley MA Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, hukuman 10 tahun penjara, dikurangi masa tahanan pada persidangan perkara tindak pidana korupsi terkait ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Kamis kemarin.
Jaksa meminta hakim menjatuhkan pidana denda Rp1 miliar subsider 6 bulan. Jaksa juga menuntut Stanley dengan hukuman pengganti Rp868,7 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu satu tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya termasuk milik korporasi akan disita.
Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Stanley MA, Johannes L. Tobing dengan tegas mengatakan, “Tuntutan JPU sangat tidak memiliki alasan hukum yang kuat dan absurb. Kami para Penasehat Hukum terdakwa tidak bisa menerima ini. Kami melihat, memang sejak awal dari pembacaan dakwaan sudah tidak masuk akal. Kenapa? Karena dakwaan tidak jelas, alias kabur jaksa tidak cermat membuat dakwaan”.
Johannes mencermati, selama persidangan hanya membahas mengenai persetujuan ekspor (PE), soal domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO). “Kenapa PE bisa diterbitkan? Ya karena persayaratannya sudah dipenuhi oleh Permata Hijau Group,” kata Johannes kepada innews, Jumat (23/12/2022).
Perkara ini, sambung Johannes, kian kabur, tak jelas di mana JPU memasukkan BLT sebagai kerugian negara. “JPU memasukkan BLT sebagai kerugian negara. Padahal sangat jelas BLT sudah masuk anggaran pengeluaran negara yang dikelola oleh Kementerian Keuangan dan dijalankan oleh Kementerian Sosial. Apa kaitannya antara BLT dengan ekspor migor? Ini sudah diluar akal sehat dan logika,” tandas Johannes.
Melihat posisi Stanley MA sebagai General Manager Corporate Affair, lanjutnya, jelas dia bukan orang yang melakukan proses administrasi dan kelengkapan permohonan PE. Tudingan JPU bahwa Stanley sebagai perwakilan PHG bisa mempengaruhi Kementerian Perdagangan dan Dirjen IWW, sungguh tak berdasar dan tidak masuk akal. Bahwa jelas dan tegas terbukti dipersidangan JPU tidak bisa membuktikan atas pengaruh Stanley MA.
Terkesan malah semakin konyol, ngawur, dan tidak masuk akal, di mana Stanley MA dituntut bertanggung jawab untuk menyerahkan aset miliknya yang tidak ada urusan pada perkara ini. Jika tidak dibayar, maka aset milik korporasi akan disita. “Bagaimana Stanley harus membayar pidana pengganti, sementara di persidangan tidak pernah dibuktikan adanya keuntungan yang diperoleh Stanley? Come on, dimana itu diatur? Ini sangat tidak adil! Tidak baik,” seru Johannes.
Menurutnya, ini menjadi preseden buruk pada penegakan hukum di republik ini. “Kedepan, para pengusaha akan takut untuk membantu pemerintah dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi,” tukasnya.
Johannes menjelaskan, perusahaan tidak segampang itu melakukan ekspor kalau tidak ada persetujuan dari Kementerian Perdagangan. Jadi, kalau bisa ekspor, artinya segala persyaratan sudah dipenuhi dan Kemendag sudah memberi izin. Tetapi kenapa eksportir yang dipersalahkan?
Dia menegaskan, kelangkaan migor bukan lantaran soal persetujuan ekspor, tapi diduga lantaran ada 13 kebijakan Kementerian Perdagangan yang berubah-ubah, selama Januari sampai Maret 2022. Johannes menilai, inilah biang kerok dari semua persoalan kelangkaan minyak goreng. Menteri Perdagangan Muhammad Luffi, ketika itu mengeluarkan Permendag No. 03 Tahun 2022, pada 19 Januari 2022, yang isinya menetapkan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000. Sejak itulah minyak goreng langka hilang dari peredaran. “Ketika Mendag M. Lutfi mencabut HET pada 16 Maret 2022, melalui Permendag No. 11 Tahun 2022, langsung minyak goreng banjir di pasaran. Tidak ada lagi kelangkaan migor, kembali normal sebagaimana biasanya,” pungkas Johannes. (RN)
Be the first to comment