Ketum AKHKI Ajak Pemilik Kekayaan Intelektual Gunakan Fasilitas Rekordasi Ditjen Bea Cukai

"Sosialisasi Rekordasi dan Pengawasan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk Para Konsultan KI", yang diadakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI, di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Selasa (27/2/2024)

Jakarta, innews.co.id – Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Representative (USTR) pada 2023 mencatat, Indonesia masuk ke dalam Priority Watch List (PWL) atau daftar negara yang dinilai Amerika Serikat memiliki pelanggaran hak kekayaan intelektual atau HKI cukup berat. Kondisi ini harus menjadi koreksi bagi semua pihak.

Ketua Umum Ketua Umum Asosiasi Konsultan hak Kekayaan Intelektual Indonesia (AKHKI) Dr. Suyud Margono mengatakan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki kewenangan dengan skema Ex-Officio untuk menerima Perekaman Rekordasi (Recordation) Kekayaan Intelektual (Merek dan Hak Cipta) terdaftar untuk melakukan pencegahan, penangguhan sementara, dan pemeriksaan fisik terjadinya peredaran barang dengan merek palsu di pelabuhan maupun perbatasan.

Dr. Suyud Margono Ketua Umum AKHKI tengah memberikan sambutan

“Tujuan fasilitas perekaman (Recordation) Kekayaan Intelektual adalah untuk melindungi pemilik KI (IP Holders), sehingga akan terdata saat dilakukan upaya penindakan di pelabuhan atau perbatasan,” terang Suyud dalam “Sosialisasi Rekordasi dan Pengawasan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk Para Konsultan KI”, yang diadakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan RI, di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Selasa (27/2/2024).

Dia menambahkan, perlu juga keterlibatan keterlibatan asosiasi konsultan KI terdaftar guna meningkatkan awareness pemegang hak (rights holders) untuk mendaftarkan merek dagang dan hak cipta barang mereka. “Ini sesuai misi Organisasi AKHKI yang berkomitmen mengajak sejawat Konsultan KI memberikan advis kepada kliennya (sebagai pemilik KI) agar memanfaatkan fasilitas rekordasi merek dan hak cipta produk mereka dalam sistem rekordasi Bea Cukai, sehingga memudahkan upaya penegakan hukum atas adanya pelanggaran HKI,” serunya.

Sementara Direktur Komunikasi dan Bimbingan Penguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto, MSi., saat membuka acara mengatakan, sosialisasi bagi Konsultan KI, khusus terkait fasilitas rekordasi dan pengawasan KI menjadi penting, karena fasilitas ini untuk melindungi bisnis proses dalam aktifitas perdagangan lintas batas dan dalam aspek makro dapat meningkatkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing.

Para narasumber acara sosialisasi di Ditjen Bea Cukai, Jakarta

Kepala SubDit Humas dan Penyuluhan DJBC Encep Dudi Ginanjar menerangkan bahwa Indonesia masuk dalam PWL atau daftar negara yang dinilai Amerika Serikat memiliki pelanggaran hak kekayaan intelektual atau HKI cukup berat.

Dikatakannya, Bea Cukai, sebagai community protector memiliki kewenangan untuk menangguhkan sementara pengeluaran barang impor atau ekspor apabila merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia.

Soal rekordasi, Kepala Seksi Kejahatan Lintas Negara II DJBC menerangkan, rekordasi adalah kegiatan untuk memasukkan data HKI ke dalam database kepabeanan yang dimiliki Bea Cukai. Manfaat dari perekaman data HKI adalah pencegahan yang efektif dan efisien sebelum barang yang melanggar HKI terdistribusi ke pasaran dalam negeri.

“Pengendalian impor atau ekspor yang diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran HKI telah diatur dalam Pasal 54 hingga 64 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2017, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40 Tahun 2018, dengan persyaratan bahwa yang mengajukan permohonan rekordasi adalah pemilik merek atau pemegang hak cipta yang merupakan badan usaha yang berkedudukan di Indonesia,” urainya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan