
Jakarta, innews.co.id – Kurator dan Pengurus merupakan profesi yang bukan saja maha berat dan berisiko, tapi juga memiliki godaan besar. Seseorang yang tak memiliki keteguhan iman, integritas, dan sikap profesional dalam menjalankan profesinya bisa tergelincir.
Hal tersebut diingatkan oleh Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia Imran Nating, SH., MH., kepada innews, di Jakarta, Sabtu (22/7/2023). “Salah satu kunci menjadi profesional adalah dengan mematuhi kode etik profesi dan mentaati segala aturan perundangan yang berlaku,” kata Imran.
Sejak awal harusnya seorang calon kurator dan pengurus sudah memahami betapa beratnya pekerjaan dan tanggung jawab yang diemban dalam menjalankan profesi ini. Tidak main-main, harta perusahaan, baik yang PKPU maupun pailit ‘diserahkan’ kepada kurator dan pengurus. “Butuh effort yang ekstra untuk menjalani profesi ini,” aku Imran.
Tidak hanya kecermatan dan ketelitian, tapi juga kehati-hatian yang tinggi. Tapi itu menjadi risiko pekerjaan yang dijalani. Begitu juga godaannya besar. Karenanya juga harus ditopang oleh pemahaman akan kode etik yang paripurna.
“Saya selalu tegaskan kepada teman-teman kurator dan pengurus, bila ada di antara kita tersangkut masalah hukum bukan karena perbuatannya, maka AKPI aja dengan penuh kerelaan mendampingi. Tapi kalau teman-teman justru melanggar kode etik dan hukum yang berlaku, AKPI no excuse dan tidak akan segan-segan memberi sanksi, bahkan melakukan pemecatan,” tukasnya serius.
Pekerjaan ini, sambungnya, tidak bisa dilakukan dengan main-main atau seadanya, melainkan harus benar-benar fokus dan penuh integritas. “Di AKPI ketat sekali melakukan pengawasan. Bila ada pengaduan dari klien, Dewan Kehormatan AKPI akan langsung memeriksa,” imbuhnya.
Diakuinya, ada satu dua orang yang mengabaikan profesionalitas dalam bekerja. “Kami sudah mengambil tindakan tegas, bahkan melakukan pemecatan. Di AKPI beda dengan organisasi advokat, sebab kalau sudah dipecat, maka tidak bisa lagi kurator dan pengurus berpraktik,” tegasnya.
Selain itu, AKPI sangat memperhatikan standar dan kualitas dari kurator dan pengurus. “AKPI tidak main-main dalam memberikan pendidikan, termasuk soal kode etik. Itu menjadi salah satu stressing AKPI,” akunya lagi.
Revisi UU 37/2004
Imran juga mendorong revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang kabarnya saat ini masih dalam penggodokan. “Selain waktunya sudah lama (UU Kepailitan), revisi tentu dimaksudkan agar melakukan penyesuaian terhadap perkembangan zaman,” terangnya.
Dia mengatakan, kalau tidak salah revisi UU Kepailitan itu sudah berjalan sejak 2018 silam. Tapi sampai sekarang belum juga selesai. “Naskah akademik sudah jadi. Setidaknya ada 16 poin atau pasal yang diusulkan untuk dirubah,” jelas Imran yang juga Founder dari Kantor Hukum Imran Nating & Partners ini.
Menururnya, bisa saja nanti akan bertambah pasal yang akan direvisi. Saat ini kabarnya, naskah akademik revisinya sudah ada di Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu yang akan direvisi terkait keterbukaan laporan atau informasi ke publik yang harus dilakukan oleh kurator dan pengurus.
Imran berharap revisi UU 37/2004 ini bisa segera rampung dan dibawa ke DPR RI untuk dibahas. “Mungkin pembahasannya alot di tingkat naskah akademik. Tapi semoga saja bisa segera dibahas di DPR RI,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment