Jakarta, innews.co.id – Dibuka ruang pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan dinilai sudah diluar kepatutan. Bahkan, hal tersebut berpotensi menjadi masalah.
“Bucara tambang kan orientasinya tentu profit. Sementara ormas keagamaan itu sifatnya non-profit. Patut dipertanyakan, apa maksud pemerintah menyeret ormas keagamaan dalam ranah bisnis. Itu diluar kepatutan,” ungkap Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta Diana Dewi, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Senin (3/6/2024).
Seperti diketahui, Presiden RI Joko Widodo, pada 30 Mei 2024 lalu meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid tersebut memberi ruang bagi ormas keagamaan untuk bisa mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) di Indonesia.
“Sangat tidak tepat bila urusan bisnis ditangani oleh organisasi keagamaan. Pasalnya, ormas keagamaan bersifat non-profit oriented, bukan mencari keuntungan, melainkan memberikan pelayanan kepada masing-masing umat dan tokoh agama,” kata Diana.
Founder PT Suri Nusantara Jaya ini melanjutkan, bila ormas keagamaan diizinkan mengelola tambang, maka bisa terjadi kerancuan dan juga memberi peluang kedepan makin meluas, di mana partai politik dan ormas-ormas lainnya bisa ikut mengelola tambang dan berbagai jenis usaha lainnya yang sejatinya menjadi ranah para pengusaha.
“Ormas keagamaan itu masuk kategori social group, di mana kegiatannya bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba dan demokratis. Apalagi ormas keagamaan yang jelas-jelas memiliki peran terhadap pembinaan umat. Berbeda dengan korporasi yang tujuannya memang untuk mencari profit,” urai Owner Toko Daging Nusantara ini.
Dirinya menambahkan, bila urusan tambang ditangani oleh ormas keagamaan, maka berpotensi terjadi masalah karena terkait dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang akan menanganinya. Kalau itu terjadi, maka pemerintah juga nanti yang akan kerepotan.
“Saya melihat pemerintah tidak matang dalam mempertimbangkan berbagai kemungkinan bila urusan bisnis diberikan kepada ormas keagamaan. Sebaiknya, urusan-urusan bisnis yang diberikan kepada para pebisnis. Masing-masing pihak sudah memiliki tupoksi dan spesialisasinya. Kalau ormas keagamaan kan jelas, demikian juga para pengusaha,” sarannya.
Lebih jauh lagi Diana melihat ada potensi terjadi tindak pidana pencucian uang. Karena laba yang diperoleh nantinya bisa dialihkan ke ormas keagamaan tersebut, bukan lagi menjadi pajak yang harus dibayarkan sebagai pemasukan negara.
“Tentu ini akan membuat kerancuan dan kebingungan bagi pendapatan negara. Bukan tidak mungkin juga peluang ini dimanfaatkan oleh pengusaha-pengusaha nakal dengan mendorong ormas keagamaan mengelola suatu tambang dengan konsensi pembagian cukup antara pengusaha dengan ormas tersebut. Kan bisa kacau balau,” imbuh Diana.
Karena itu, menurut Diana, biarkan saja soal tambang diurus oleh para pengusaha yang paham betul soal itu. “Keputusan mengizinkan ormas keagamaan mengelola tambang terlalu berani dan berisiko besar,” tegasnya. (RN)
Be the first to comment