Ketum Permabudhi: Ajaran Buddha Implementasi Moderasi Beragama

Prof. Dr. Philip K. Wijaya, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi)

Jakarta, innews.co.id – Sejatinya, moderasi tidak termaktub dalam segala ketentuan di setiap agama, termasuk agama Buddha. Hanya saja, di Buddha ada hal-hal yang similiar dengan moderasi, seperti Jalan Berunsur Delapan yakni, pandangan benar, tekad benar, ucapan benar, perilaku benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan samadhi benar. Moderasi adalah ibarat jalan tengah.

“Semua itu (Jalan Berunsur Delapan) menuntun manusia untuk hidup sesuai norma yang disepakati bersama,” kata Prof. Dr. Philip K. Wijaya, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), di Jakarta, Sabtu (11/5/2024).

Menurutnya, disebut normatif adalah sesuatu yang tidak terlalu ke kanan atau kiri, tapi berada ditengah-tengah. “Bila ada sesuatu yang bisa mencapai tingkat kenormalan dalam lingkungan dan tidak menimbulkan gejolak, artinya sudah tercipta kerukunan. Nah, kerukunan itu akan tercipta ketika semua berjalan normal,” terangnya.

Umat Buddha, lanjutnya, cenderung mengikuti apa yang sudah normal. Tidak merusak hal-hal baik yang sudah berjalan, tidak mengganggu kerukunan yang telah tercipta, dan sebagainya.

Prof Philip menerangkan, dalam catatan pilar Raja Asoka yang Agung (273 SM-232 SM) dikatakan, “Kalau Anda meremehkan ajaran orang lain, itu sama artinya Anda sedang meremehkan agamamu sendiri”.

Permabudhi sendiri secara aktif telah mensosialisasikan moderasi beragama kepada anggotanya. “Kami lakukan sosialisasi melalui seminar, ceramah-ceramah agama, dan sebagainya di semua cabang yangbada. Saat ini, Permabudhi telah memiliki 34 cabang di seluruh Indonesia,” aku Philip.

Saling menghormati

Ditanya soal dikotomi mayoritas dan minoritas, Prof Philip menegaskan, tidak masalah bila ada istilah ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’. “Biarkan saja, tidak masalah. Intinya, keduanya saling menghormati dan respek satu sama lain,” imbuhnya.

Ditegaskan, ajaran Buddha sendiri adalah pengejawantahan dari moderasi beragama. Bisa dikatakan, umat Buddha telah menjalani moderasi beragama jauh sebelum hal tersebut didengungkan di republik ini.

Terkait kerap terjadinya gesekan antar-agama di Indonesia, menurut Philip, itu mungkin disebabkan oleh ajaran masing-masing agama, utamanya terkait syiar keimanannya. “Di kami sendiri tidak ada mengharuskan seseorang memeluk Buddha. Karena Buddha sendiri adalah pencerahan dan kabar baik. Itu yang kita sampaikan, tanpa harus memeluk Buddha,” terangnya.

Kepada umat Buddha, lanjut Prof Philip, pihaknya mengimbau untuk bisa mengikuti program yang digulirkan oleh pemerintah yaitu, moderasi beragama.

“Kita jaga kerukunan umat beragama, dalam hal ini cara beragama. Jadi, yang dimoderasi bukan agamanya, tapi cara menjalankan agama dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita merasa agama kita paling benar, tidak perlu teriak-teriak kepada orang lain akan hal tersebut. Bahkan di internal pun harus berhati-hati. Sebab kalau umat dicekoki dengan pemahaman begitu, maka bisa dibawa keluar juga,” pungkasnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan