
Jakarta, innews.co.id – Usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rycko Amelza Dahniel, terkait pengontrolan semua tempat ibadah oleh pemerintah, mendapat kritik tajam dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom.
Bahkan, Gomar menyebutnya sebagai sikap frustrasi pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme. “Menghendaki semua tempat ibadah berada di bawah kontrol pemerintah, merupakan langkah mundur dari proses demokratisasi yang sedang kita perjuangkan bersama pasca reformasi 1998,” kata Gomar, dalam keterangan persnya yang diterima innews, Senin (4/9/2023).
Sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Rycko Amelza mengusulkan agar semua tempat ibadah di bawah kontrol pemerintah. Hal tersebut, kata Rycko, juga sudah diberlakukan di Malaysia, Singapura, beberapa negara di Timur Tengah, hingga Afrika. Langkah itu bisa diikuti pemerintah Indonesia.
“Mungkin dalam kesempatan yang baik ini kita perlu memiliki sebuah mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap seluruh tempat ibadah. Bukan hanya masjid tapi semua tempat peribadatan kita,” kata Rycko.
Dia mengatakan, pemerintah dapat mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar suatu tempat ibadah. Selain itu, juga mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah. Hal ini, menurutnya, guna menghindari hadirnya narasi kekerasan di tempat ibadah.
“Siapa saja yang boleh memberikan menyampaikan konten di situ. Termasuk mengontrol isi daripada konten. Supaya tempat-tempat ibadah kita ini tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan,” seru Rycko.
Dia menambahkan, Indonesia perlu belajar kepada negara-negara tetangga kita, Singapura, Malaysia. Negara-negara Timur Tengah, negara-negara di Afrika. Karena mereka sudah memiliki mekanisme kontrol terhadap tempat ibadah.
Lebih jauh Gomar mengatakan, “Kita sudah menyepakati demokrasi menjadi sistem atau kendaraan sebagai bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. “Dalam masyarakat yang semakin demokratis, negara harus mempercayai rakyatnya untuk bisa mengatur dirinya, termasuk dalam hal pengelolaan rumah ibadah,” serunya.
Gomar menilai, pemikiran Rycko yang menghendaki agar pemerintah mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar di tempat ibadah serta mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah, hanya menunjukkan sikap frustrasi pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme. Hal sedemikian ini merupakan arus balik dari cita-cita reformasi dan akan membawa kita kepada suasana etatisme pada masa Orde Baru.
Menurutnya, masalah yang kita hadapi kini adalah kurang tegasnya pemerintah menghadapi berbagai ujaran kebencian yang mendorong budaya kekerasan di tengah masyarakat. Bahkan perilaku intoleran yang disertai dengan tindak kekerasan, apalagi atas nama agama, sering luput dari tindakan hukum oleh negara. “Peradaban yang mengedepankan mereka yang bersuara keras, atau mengedepankan kebencian dan kekerasan, ini yang perlu mendapat perhatian kita bersama, untuk segera dihentikan,” ucapnya kritis.
Karenanya, lanjut Gomar, ketimbang memberlakukan usulan Kepala BNPT, dirinya lebih meminta keseriusan dan tindakan tegas pemerintah atas ujaran kebencian, aksi intoleran dan tindak kekerasan, seturut hukum yang berlaku.
Selain itu, sambungnya, hal lain yang mendesak dilakukan bersama oleh seluruh elemen bangsa adalah pembudayaan cinta damai dan cinta kemanusiaan. “Menjadi tugas bersama untuk mendidik masyarakat untuk sedia menerima mereka yang berbeda, serta mengakomodasinya dalam membangun hidup bersama, termasuk mengakomodasi kebutuhan akan rumah ibadah, oleh umat beragama apapun,” cetus Gomar.
Di sisi lain, pemerintah pun perlu lebih peka mendengar kritik masyarakat, termasuk dari para tokoh agama atau pemdakwah, dan jangan cepat-cepat menghakiminya sebagai bagian dari radikalisme. (RN)
Be the first to comment