Jakarta, innews.co.id – Fenomena menggoreng isu polemik putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang batas usia Capres/Cawapres, dinilai bisa membahayakan stabilitas bangsa. Apalagi jika gorengan itu disertai praduga-praduga yang naif dan provokasi hingga usulan dan desakan yang tidak rasional.
Hal tersebut diingatkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Depinas SOKSI) Ali Wongso Halomoan Sinaga, dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (3/11/2023). “Gorengan isu demikian bisa timbulkan gangguan kelancaran Pemilu 2024 dan stabilitas nasional yang niscaya bisa bahayakan bangsa dan negara. Kepentingan stabilitas dan eksistensi bangsa dan negara adalah diatas segalanya,” ujarnya.
Baginya, apapun putusan MK bersifat final dan mengikat (binding), berdasarkan Pasal 24 C UUD 1945. “Semua pihak perlu memahami bahwa UUD 1945 atau Konstitusi adalah hukum dasar negara dan tertinggi. Apabila ada pakar hukum tertentu yang berpendapat seolah-olah ada UU tertentu yang dapat menjadi dasar membatalkan Putusan MK, itu naif. Bukan tidak mungkin ada motif sempit tertentu yang perlu diwaspadai,” tukasnya.
Ali berpendapat, tidak ada ruang Konstitusi dan hukum untuk membatalkan suatu putusan MK oleh siapapun, kecuali melalui mekanisme perubahan UU oleh DPR RI bersama Presiden, sesuai Pasal 20 UUD 1945.
“Saat ini perubahan tersebut tentu tak realistis mengingat Pemilu 2024 tak lama lagi. Karenanya, semua pihak perlu menahan diri dan tidak emosional. Diharapkan semua pihak tenang dan berpikir rasional dengan mencegah pernyataan dan perilaku yang berpotensi memanaskan suhu politik nasional,” tegas mantan anggota Pansus DPR RI/Tim Perumus UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 Tentang MK, di Jakarta, Kamis (2/11/23).
Politisi senior dan mantan Ketua DPP Partai Golkar ini mengatakan, mungkin akan lebih arif bijaksana jika diselesaikan secara internal parpol itu sendiri tanpa harus mengumbarnya ke publik.
Begitu juga terkait Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) yang menggelar sidang dugaan pelanggaran etik Hakim MK, sambungnya, sangat diharapkan agar on the track. Selalu waspada dengan menjaga integritas dan kenegarawanan yang tinggi agar tidak sampai terpengaruh menjadi ikut “pemain” dan atau “dimainkan” langsung atau tak langsung dalam politik praktis oleh karena segala bentuk potensi godaan, tekanan, dan provokasi para pihak kepentingan tertentu yang dapat saja terjadi.
Lebih jauh Ali menjabarkan, perlu memahami fakta bahwa salah satu perubahan penting dan mendasar dalam perubahan pertama terhadap UU No 24 Tahun 2003 Tentang MK adalah penambahan ayat (2a) di Pasal 57 UU MK yang mengatur amar putusan MK tidak boleh membuat norma baru dalam pengujian materiil UU. Mengapa demikian? Karena Pansus DPR RI dan Timus Perubahan UU MK ketika itu menyadari kuatnya pemahaman dan kemauan bahwa dalam kondisi tertentu MK dapat membuat amar putusan yang mengubah norma atau membuat norma baru suatu UU yang diujinya terhadap UUD 1945.
Di sisi lain, lanjutnya, Pansus dan Timus Perubahan UU MK memandang bahwa MK adalah negatif legislator murni yang tidak boleh membuat atau mengubah norma UU yang diujinya, karena hal itu mengambil fungsi pembuat UU yaitu, DPR bersama Presiden (open legal policy) sesuai Pasal 20 UUD 1945.
Namun, pada tahun 2020, melalui UU No. 7 Tahun 2020 Tentang perubahan ketiga UU No 24 Tahun 2003 Tentang MK, bahwa ayat (2a) Pasal 57 itu dihapus. Lalu MK membuat Peraturan MK No 2 Tahun 2021 yang didalamnya pada Pasal 73 ayat (3) mengatur : “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)”.
Jadi pertanyaan, apa MK dibenarkan berwenang mengubah atau membuat norma baru UU? “Jika tidak dibenarkan, lalu bagaimana legitimasi berbagai putusan MK yang merubah atau menambah norma baru UU seperti terhadap UU KPK baru-baru ini?”
Sebaliknya, jika dibenarkan MK berwenang merubah atau menambah norma baru UU, maka apa yang salah dalam berbagai putusan MK yang mengubah atau menambah norma baru UU seperti Putusan MK tentang usia capres/cawapres itu?
Soal adanya hubungan keluarga antara Ketua MK, Anwar Usman dengan Wali Kota Gibran Rakabuming Raka, yang disinyalir telah mempengaruhi independensi putusan MK, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar itu justru bertanya mengapa melihatnya tidak rasional kritis dan komprehensif dengan kenegarawanan yang proporsional?
Dipaparkannya, sekurangnya ada 4 hal yang perlu dipahami mendalam oleh semua pihak.
Pertama, gugatan uji materiil oleh berbagai pihak terhadap huruf (q) Pasal 169 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu itu hendaklah dilihat dengan positive thinking, dari sudut pandang kemauan politik untuk memberdayakan segenap potensi bangsa, khususnya generasi muda dalam pola dan sistem rekrutmen kepemimpinan bangsa. “Putusan MK itu terbuka bagi semua warga negara, sepanjang yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan rasional yang ditentukan dalam pasal 169 huruf (a) sampai dengan (t) dengan perubahan pada huruf (q) sesuai Putusan MK. Jadi, naif bila ada tuduhan putusan MK itu ditujukan hanya untuk Gibran saja,” terangnya.
Kedua, bertumbuhnya kesadaran masyarakat luas bahwa tantangan utama dan terberat bagi bangsa negara ini kedepan adalah persoalan yang berakar pada korupsi yang faktanya sejak Reformasi 1998 belum berhasil diberantas. Pencegahan dan pemberantasan korupsi ibarat dua sisi mata uang, dengan pembangunan hukum yang berkeadilan sekaligus penegakannya untuk menjadikan hukum yang adil sebagai panglima atau penegakan supremasi hukum.
“Rasanya dengan politisi sekarang yang usianya di atas 40-an, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena banyak yang sudah terkontaminasi pragmatisme dan ekses korupsi. Seperti ada adagium, “lantai kotor hanya bisa bersih dengan sapu yang bersih”.
Karena itu, wajarlah jika ada pihak-pihak yang terpanggil memikirkan pemecahan masalahnya kedepan. Salah satunya dengan memberikan kesempatan kepada generasi muda yang umumnya relatif bersih, idealis, militan, dan terpanggil dalam kepemimpinan perjuangan bangsa.
Ketiga, Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan setiap warga negara kapanpun dia dilahirkan atau berapapun usianya dan siapapun orangtuanya harus dijamin secara hukum berkesempatan dalam pemerintahan, termasuk menjadi Presiden/Wapres sepanjang memenuhi persyaratan yang rasional dan proporsional.
Ali menjabarkan, persyaratan capres/cawapres dalam pasal 169 huruf (q) UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, sebelum ada putusan MK itu telah menghadang peluang generasi muda berusia dibawah 40 tahun, meskipun bukan tak mungkin terdapat anak-anak muda yang bisa memenuhi persyaratan lainnya pada huruf (a) hingga (p) dan (r) sampai (t) Pasal 169 UU Pemilu itu.
“Hadangan itu, selain tidak mendukung kemauan politik untuk menjawab tantangan masa depan bangsa, juga tidak adil bagi generasi bangsa dan itu merupakan diskriminasi yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan (3) UUD 1945. Sebenarnya MK jika mau dapat saja memutuskan huruf (q) Pasal 169 UU Pemilu itu tidak lagi berkekuatan hukum yang mengikat sebab bertentangan dengan UUD 1945. Namun MK telah memutuskan adanya penambahan norma baru yang mengkombinasikan makna Pasal 28 D UUD 1945 dengan norma batasan rekam jejak kompetensi minimal kepemimpinan seseorang capres/cawapres, dan itu merupakan kewenangan MK yang putusannya final dan mengikat,” tegasnya.
Keempat, terkait dengan pribadi Gibran, di mana KPU tengah memprosesnya menjadi cawapres dari capres Prabowo Subianto, perlu dipahami bahwa beliau tentu tak pernah meminta kepada Sang Pencipta untuk lahir di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Juga beliau tentu tak pernah memilih atau meminta dilahirkan dengan orangtuanya Jokowi dan Iriana. Tetapi takdir yang menetapkannya sebagai putra sulung dari ayahnya seorang warga negara Indonesia, Jokowi yang kemudian terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilu 2014 dan 2019.
“Sebagai WNI, beliau memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita semua WNI. Sebagai putra seorang pemimpin negara yaitu Presiden Jokowi adalah wajar dan logis apabila beliau memiliki bibit, bebet, bobot yang ditandai karakteristik kepemimpinan kuat, sebagaimana sudah ditampakkan dari hasil dan image kepemimpinannya selama ini sebagai Walikota Solo,” urainya.
Faktanya, hampir seluruh rakyat Solo, bahkan Jawa Tengah dan sekitarnya memberi apresiasi baik atas kepemimpinannya dalam pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di Solo.
“Tentu rakyat perlu memberikan kesempatan dan menunggu gagasan programnya yang diharapkan sebagai representasi generasi muda yang mampu mem-by pass isu jam terbang terkait kapasitas dan isu dinasti yang dialamatkan banyak pihak kepada beliau. Sesudah itu, terserah kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan atas negara bangsa untuk memilih capres/cawapres terbaik melalui Pemilu 2024 mendatang,” cetusnya.
Ali menegaskan, rakyatlah penentu dan sudah tentu “fox populi fox Dei”- suara rakyat, suara Tuhan.
Berkaca pada 4 hal tersebut, kader senior SOKSI gemblengan langsung Pendiri SOKSI, Prof. Dr. Suhardiman itu berharap kepada semua pihak, termasuk MKMK, untuk senantiasa waspada dan bijaksana dalam menjaga demokrasi dan stabilitas nasional yang kondusif dengan memberikan peluang yang sama kepada ketiga pasang capres/cawapres sesuai semangat pasal 28 D UUD 1945. Serta mengedepankan kepentingan rakyat bangsa negara.
Melalui Pemilu 2024 ini ketiga pasang capres/cawapres itu diharapkan akan berlomba dengan integritas dan gagasan program serta kompetensi mereka untuk mengakselerasi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila guna memajukan Indonesa menuju Indonesia Emas 2045. (RN)
Be the first to comment