Jakarta, innews.co.id – Dinilai melanggar norma dan undang-undang yang ada, seruan penghentian penayangan Sinetron Zahra di salah satu stasiun televisi swasta kian kencang. Salah satunya disuarakan oleh Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
“Setidaknya ada tiga pelanggaran norma dan undang-undang dalam tayangan sinetron tersebut. Yakni, berkaitan dengan pernikahan usia dini, eksploitasi perempuan dan kekerasan seksual serta mempekerjakan anak dibawah umur,” kata Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd., Ketua Umum Kowani dalam rilisnya yang diterima innews, Jum’at (11/6/2021).
Diakui Giwo, Kowani sebagai Ibu Bangsa merasa resah atas tayangan sinetron tersebut. Penyiaran, termasuk siaran televisi seharusnya menghormati dan menjunjung tinggi hak anak-anak dan remaja dan wajib mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak-anak/remaja. Salah satu aturan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) adalah menyangkut perlindungan kepada anak-anak dan remaja.
“Perlindungan terhadap anak dan remaja ini mencakup anak sebagai pengisi atau pembawa program siaran, anak sebagai pemeran dalam seni peran, dan anak sebagai materi atau muatan dalam program siaran. Semua ini merupakan implementasi dari UU No. 35 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehingga peran apapun yang melibatkan anak harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada,” terangnya.
Ini penting, sambungnya, jangan sampai anak diberi peran-peran yang akan berpengaruh secara negatif bagi tumbuh kembang dan psikologisnya. Sebagaimana peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP:115/MEN/VII/2004 tentang Perlindungan Bagi Anak yang Melakukan Pekerjaan untuk Mengembangkan Minat dan Bakat, bahwa lembaga penyiaran dan production house (PH) diperbolehkan melibatkan anak untuk mengembangkan minat dan bakatnya (dalam hal ini adalah seni peran), namun dengan kriteria pekerjaan tersebut biasa dikerjakan oleh anak sejak usia dini.
Jika pihak lembaga penyiaran dan PH dianggap menyampaikan ketidakbenaran atau menayangkan program yang melanggar hukum yang berlaku seperti dalam Sinetron Zahra, di mana dalam sinetron tersebut dibenarkan untuk menikahkan perempuan yang masih dikategorikan anak-anak dan peran istri yang dimainkan oleh pemeran di bawah umur, dinilai sebagai bentuk stimulasi pernikahan usia dini, itu bertentangan dengan program pemerintah. Hal ini dapat dianggap menyebarkan informasi yang bertentangan dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam tayangan tersebut, Zahra sebagai pemeran utama sering mendapatkan kekerasan psikis berupa bentakan dan makian dari pemeran pria dan pemaksaan melakukan hubungan seksual. Hal ini dianggap mempromosikan kekerasan psikis dan seksual terhadap anak. Padahal, dalam Pasal 76C UU Perlindungan Anak jelas disebutkan bahwa perusahaan (dalam hal ini Indosiar) semestinya melakukan perlindungan dan menjauhkan anak dari eksploitasi ekonomi dan seksual.
Lebih jauh Giwo mengatakan, Sinetron Zahra beresiko mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual, dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Karena pada tayangan tersebut diceritakan bahwa Zahra sebagai pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar hutang keluarganya.
“Jika nanti ditemukan kasus serupa di lapangan dan setelah digali peristiwa tersebut merupakan bentuk imitasi dari yang disiarkan oleh Indosiar, maka pihak lembaga penyiaran dan PH dapat dipidanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Giwo yang juga Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) ini.
Sinetron ini juga, kata Giwo, secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan toxic masculinity, di mana akan terbangun konstruksi sosial di masyarakat bahwa maskulinitas yang lekat sebagai sifat pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan boleh menunjukkan emosi. Hal ini akan mendorong dominasi, kekerasan, homofobia dan perendahan terhadap perempuan.
“Kowani meyakini bahwa setiap tayangan yang disiarkan oleh televisi bermaksud mengedukasi masyarakat terkait perkawinan anak, eksploitasi anak, dan kekerasan seksual. Namun yang disayangkan skenario yang dibuat masih belum memperhatikan prinsip-prinsip pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Secara khusus Kowani merekomendasikan, pertama, meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menstop/menghentikan segala bentuk program penyiaran yang melanggar UU, khususnya yang meresahkan masyarakat, seperti Sinetron Zahra. Kedua, perlu dilakukan peninjauan kembali terkait muatan atau skenario dalam tayangan televisi, khususnya sinetron yang tidak mendidik dan merusak generasi masa depan bangsa. Ketiga, sebagai Organisasi Perempuan yang concern dalam upaya perlindungan anak termasuk pencegahan perkawinan anak, maka hal tersebut harus ada tindakan untuk mengingatkan adanya pelanggaran dalam siaran serta kode etik pertelevisian demi kepentingan terbaik bagi anak.
Giwo menegaskan, pertimbangan sebagai tindakan melanggar yang dilakukan dengan penayangan Sinetron Zahra adalah bahwa tayangan tersebut melanggar UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 35 Tahun 2014) serta UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974), dimana menyebutkan minimal usia perkawinan adalah 19 Tahun.
“Kerja keras pemerintah untuk menurunkan target perkawinan anak 8,74 persen tentu tidak mudah dengan masih banyaknya tayangan-tayangan dari lembaga pertelevisian yang mereduksi upaya pemerintah dalam menurunkan perkawinan anak,” imbuh seraya menyarankan agar advokasi lebih diintensifkan.
Giwo memastikan Kowani akan melakukan koordinasi dan menyurati kementerian dan lembaga terkait untuk pro aktif dalam mengkampanyekan bermedia sehat, khususnya dalam penayangan program-program televisi. (RN)
Be the first to comment