Jakarta, innews.co.id – Kepergian Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal meninggalkan duka cita mendalam, baik bagi keluarga maupun masyarakat yang mencintainya. Air mata keluarga dan rakyat Papua masih terus mengalir setiap kali mengingat sosok yang dikenal low profile dan bersahaja ini. Duka kian dalam tatkala melihat sikap Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), yang sepertinya kurang berempati terhadap rasa kehilangan keluarga besar Tinal.
Dalam salinan surat DPRP tertanggal 11 Juni 2021, disebutkan bahwa Pimpinan DPRP mengundang Pengurus dan Anggota DPRP untuk membahas pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Calon Wagub Papua sisa masa periode 2018-2023. Ini menjadi salah satu agenda rapat, disamping pembahasan terkait LKPJ Gubernur Tahun Anggaran 2020 dan Jadwal Pengumuman serta Pengusulan Pemberhentian Wakil Kepala Daerah Papua, serta Pembentukan Panitia Khusus LHP BPK RI DPRP.
Menanggapi sikap DPRP, Yance Mote, SH., Koordinator Daerah Partai Golkar Wilayah Dapil III Meepago, mengaku, miris dengan kekurangempatian DPRP kepada duka keluarga Klemen Tinal. “Kenapa harus terburu-buru bentuk Pansus? Almarhum saja belum 40 hari wafat. Harusnya DPRP sebagai representasi masyarakat bisa melihat bahwa rakyat Papua saja masih berduka karena kepergian Klemen Tinal,” ujar Yance dengan nada tinggi kepada innews, Jumat (11/6/2021).
Dengan tegas Yance menyerukan, “Stop melakukan hal yang tidak menghargai dan menghormati rasa duka dan kehilangan. Kami minta dengan kerendahan hati. Mohon pimpinan dewan menahan diri dulu”.
Lebih jauh Yance menerangkan, mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wagub Papua telah diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Pada Pasal 176 ayat (1) UU Pilkada, disebutkan bahwa “Dalam hal Wakil Gubernur Papua berhenti bukan karena permintaan sendiri, pengisian Wagub Papua dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRP berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan parpol pengusung”.
“Parpol atau gabungan parpol pengusung mengusulkan dua orang calon. Tetapi, kami minta calon tunggal Wagub Papua kepada DPRP melalui Gubernur Papua untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRP, merujuk ayat (2) pada Pasal 176,” terangnya.
Pengisian kekosongan jabatan Wagub Papua, sambungnya, dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut. Selanjutnya, prosesi pemilihan wagub dalam Rapat Paripurna DPRP Papua telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Yance yang juga dikenal sebagai aktivis dan pengusaha muda ini menambahkan, pemilihan Wagub Papua diselenggarakan dalam rapat paripurna dan hasilnya ditetapkan dengan keputusan DPRP. Dari situ kemudian Pimpinan DPRP mengumumkan pengangkatan Wagub Papua yang baru dan menyampaikan usulan pengesahan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Yance mencontohkan, di DKI Jakarta ada perbedaan pengisian kekosongan kursi Wagub pada masa Djarot Saifullah Hidayat dan Sandiaga Uno. Kekosongan Wagub DKI setelah Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur, dasarnya adalah UU Nomor 1 Tahun 2015 dan PP Nomor 102 Tahun 2014, di mana memuat ketentuan bahwa pengangkatan Wagub merupakan wewenang penuh gubernur.
“Jadi saat itu prosesinya diusulkan pengangkatannya kepada Presiden serta dilantik oleh Gubernur,” imbuh Yance.
Pengaturan pengisian Wagub sebagaimana dimaksud UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota menjadi Undang-Undang mengatur soal tata cara pergantian Wagub ini sudah dicabut atau dihapus dan diganti pengaturannya dalam UU Pilkada. “Saat ini pengisian kekosongan Wagub dilakukan melalui pemilihan di dalam sidang paripurna DPRD sebagaimana amanat Pasal 176 UU No 10/2016,” pungkasnya.
Yancer berharap DPRP benar-benar memakai hati dalam memilih dan menentukan Wagub Papua. (RN)
Be the first to comment