Jakarta, innews.co.id – Wawancara Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto dengan SCTV berbuntut panjang. Dia dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Hendra dan Bayu Setiawan terkait ucapannya saat melakukan wawancara di televisi nasional tersebut.
Ia dilaporkan pada dugaan penghasutan dan atau menyebarkan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang membuat berita bohong. Hasto disangkakan melanggar Pasal 160 KUHP dan Pasal 28 ayat 3 juncto Pasal 45A ayat 3.
Hasto dipolisikan lewat dua laporan polisi (LP) yang teregister dalam nomor LP/B/1735/III/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 26 Maret 2024 dan LP nomor LP/B/1812/III/2024/SPKT/POLDA METRO JAYA tertanggal 31 Maret 2024.
“Latar belakang digugatnya Pak Sekjen karena wawancara di SCTV pada 16 Maret 2024 yang dikaitkan dengan demo di mana terjadi kerusuhan pembakaran ban ketika itu,” kata Anggota Tim Kuasa Hukum Hasto Kristiyanto, Johannes Oberlin Lumban Tobing, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Dikatakan, kepada penyidik, Hasto meminta klarifikasi kenapa dirinya dilaporkan terhadap peristiwa demo tanggal 16 dan 20 Maret, bahkan dikenakan pasal yang sangat serius ini?
“Kan lucu, ada sekelompok orang berdemo lantas dikait-kaitkan dengan pernyataan Pak Sekjen. Apa hubungannya?” cetusnya.
Menurutnya, pasal 160 yang disangkakan sangat serius karena bicara soal penghasutan. “Pasal ini termasuk jahat karena menuduh seseorang. Esensi dari perbuatan menghasut adalah usaha untuk menggerakkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh penghasut,” ujar Johannes.
Ada dua subjek delik dalam penghasutan yakni, orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut. Dengan demikian sumber niat jahat dari perbuatan penghasutan adalah orang melakukan penghasutan. Bentuk penghasutan yang dilakukan penghasut adalah agar orang lain (orang yang dihasut) melakukan tindak pidana, melakukan sesuatu kekerasan kepada penguasa umum, tidak memenuhi peraturan perundang-undangan atau tidak mematuhi perintah jabatan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
“Penghasutan itu sendiri harus terjadi di muka umum dan dilakukan dengan sengaja (kehendak). Artinya, Pasal 160 KUHP baru bisa digunakan jika: (a) ada perbuatan menghasut (b) yang dilakukan dengan sengaja (c) dilakukan di depan umum (d) orang yang dihasut melakukan perbuatan yang melawan hukum,” urainya.
Begitu juga Pasal 28 ayat 3 juncto Pasal 45A ayat 3, sambung Johannes, tidak tepat sama sekali. “Jadi, dari kedua pasal yang disangkakan sama sekali tidak ada satu unsur pun yang memenuhi pelaporan tersebut,” tukasnya.
Dia menambahkan, wawancara Hasto dengan SCTV merupakan produk jurnalistik. “Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dikatakan, bila ditemukan ada hal-hal yang mungkin kurang tepat dan sebagainya pada suatu produk jurnalistik, ya harus dilaporkan ke Dewan Pers,” tegasnya.
Untuk itu, pihak penyidik sebaiknya berkoordinasi dengan Dewan Pers lebih dulu. “Bila itu sudah dilakukan, kami siap kapan saja untuk dipanggil lagi,” imbuh Johannes.
Kuasa hukum Hasto menilai, ini laporan yang tidak jelas dengan pasal yang menakutkan dengan menuduh seseorang. “Ini sangat bahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Karena itu kami menduga (laporan) ini sebagai ‘orderan’ dari pihak tertentu yang entah apa tujuannya,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment