
Jakarta, innews.co.id – Pengendalian harga yang dilakukan Menteri Perdagangan M. Lutfhi diduga menjadi biang kerok terjadinya kelangkaan minyak goreng (migor). Ekonom dari Stamford University mengatakan, “Price control is the bad idea”.
Pernyataan itu menjadi materi pertanyaan Prof Otto Hasibuan Kuasa Hukum Stanley MA, salah satu terdakwa kasus dugaan tindak pidana minyak goreng, saat bertanya ke saksi ahli Lukito dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2022).
Saksi ahli sependapat dengan pernyataan itu. “Iya, bisa terjadi bila dilakukan pengontrolan harga,” kata Lukito.
“Kebijakan pengontrolan harga yang dibuat Menteri Lutfhi telah membuat migor menjadi langka. Sebab penetapan harga eceran tertinggi (HET) yang dikeluarkan membuat produsen enggan menjual produknya,” beber Otto, saat rehat persidangan, hari ini.
Dijelaskannya, dalam dakwaan disebutkan ada kerugian perekonomian negara. Tapi, sampai sekarang tidak ada kejelasan rumusan untuk menyatakan bahwa benar ada kerugian perekonomian negara sebagai dampak dari kelangkaan migor tersebut. “Tadi saksi ahli menyatakan, indikator kerugian perekonomian negara diakibatkan naiknya inflasi dan tingginya tingkat kemiskinan. Tapi tidak ada yang menyatakan bahwa kerugian perekonomian negara diakibatkan karena kelangkaan migor. Dalam hal ini, tidak ada kesepakatan dari para ahli terkait hal tersebut,” tuturnya.
Otto menambahkan, dalam kasus ini tidak ada penegasan soal definisi yang pasti dan belum ada kesepakatan tentang kerugian perekonomian negara. “Kalau hukum itu masih labil, dengan kata lain pasal karet ya tidak bisa diterapkan dong,” tandas Otto.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) ini melanjutkan, peraturan Mendag yang berubah-ubah telah melahirkan kekacauan. “Contohnya, saat jam 00.00 WIB diberlakukan HET migor Rp 14.000 per liter. Beberapa jam sebelumnya, barang telah dijual ke distributor seharga Rp 17.000 per liter dan dalam perjalanan ke suatu tempat untuk selanjutnya di pasarkan. Kira-kira mau tidak distributor menurunkan harga menjadi Rp 14.000, sementara dia sudah beli dengan harga Rp 17.000? Tentu tidak mau. Kalau mau lakukan perubahan harga, aturan harus dikeluarkan setidaknya dua minggu sebelumnya, tidak bisa mendadak dan berharap distributor melakukan penyesuaian harga. Itu sama saja mau ‘membunuh’ distributor,” paparnya.
Dengan tegas Otto mengatakan, “Jangan bebankan hal ini kepada produsen, padahal yang salah adalah menterinya (pemerintah) sebagai pembuat kebijakan”. (RN)
Be the first to comment