Jakarta, innews.co.id – Pembuat akta adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap isi akta. Sebab, sebelum ditandatangani, isi akta akan dibacakan dan meminta persetujuan dari pembuat akta dan saksi-saksi.
Penegasan ini dikatakan Saksi Ahli Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, dalam sidang terbuka perkara nomor 246/Pid.B/2024/PN.Jakut, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (21/5/2024). Pada kasus ini Eva Jauwan dan Aky Jauwan (ayahnya) telah ditetapkan sebagai terdakwa dan dikenakan tahanan kota.
“Notaris hanya mengecek syarat-syarat formil yang diberikan oleh pembuat akta. Kebenaran data-data tersebut akan dikonfirmasikan kembali dengan pembuat akta sebelum ditandatangani. Karenanya, sudah tepat bila si pembuat akta dikenakan Pasal 266 KUHP,” jelas Hendri.
Seperti diketahui Pasal 266 KUHP menyebutkan, “(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam surat pembukti resmi (akte) tentang hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan kebenaran, jika hal memakai akte itu dapat mendatangkan kerugian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun”.
Di sisi lain, kuasa hukum terdakwa, Djalan Sihombing berkilah, “Kalau kita perhatikan sejak awal persidangan bahwa yang dipersoalkan adalah suatu keterangan yang tidak benar dalam akta otentik. Tapi sampai sekarang belum tahu persis siapa yang menyuruh melakukan itu karena si terdakwa tidak pernah menyuruh untuk membuat surat keterangan di dalam akta. Di persidangan sebelumnya juga tidak ada yang tahu, termasuk Pelapor pun tidak tahu. Itu yang terjadi”.
Ketika dikonfirmasi, Katarina Bonggo Warsito selaku Pelapor menerangkan, intinya ada keterangan palsu yang dimuat dalam akta otentik tersebut. “Apakah bisa notaris memasukkan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta? Dan, apa tujuan notaris itu karena tidak ada hubungan keluarga sama sekali? Kan aneh,” ucap Katarina.
Menurutnya, ada bukti chat di WhatApps yang menjadi kunci membuka kasus tersebut. “Chat di WA itu dihapus oleh Aky saat handphone-nya disita oleh penyidik. Tapi saya sudah laporkan (chat) itu ke polisi,” tandas Katarina.
Chat di WA itu menjadi dasar Katarina mau mengantar berkas-berkas dan keperluan penandatanganan akta tersebut.
Dan lagi, lanjutnya, kalau memang dirinya mau melepas haknya, apa ada bukti tanda tangan pelepasan hak dari dirinya?
Hendri menegaskan, “Notaris akan mengecek syarat-syarat formil dan menanyakan apa benar sesuai dengan dokumen yang diberikan. Kalau Alexander Muwito (Alm) sudah pernah menikah dengan Katarina Bonggo Warsito, kenapa dibilang belum? Itu sama artinya, si pembuat akta membenarkan terjadinya kesalahan sekaligus memberi keterangan yang tidak sesuai dengan faktanya.
Soal adanya pernikahan antara Alexander dengan Katarina dibenarkan oleh Djalan. “Memang pada saat itu almarhum (Alexander) sudah kawin dengan Pelapor (Katarina), namun usia perkawinannya hanya berlangsung 1 tahun 8 bulan. Setelah itu cerai di PN Jakut, pada 2010,” akunya.
Disuruh keluar
Djalan juga menambahkan bahwa Katarina yang mengurus-urus dokumennya sampai penandatanganan. “Betul, saya yang diminta mengurus dokumen-dokumen untuk penandatanganan akta notaris di apartemen di Ancol. Tapi saya tidak pernah diberi tahu akta apa yang dimaksud. Juga saat penandatanganan akta, saya disuruh keluar dan tidak menyaksikan penandatanganan tersebut,” ujar Katarina.
Kuasa hukum Katarina, Sugeng Teguh Santoso menduga, Katarina disuruh keluar saat penandatanganan agar tidak tahu isi akta tersebut. “Bisa saja disuruh keluar agar yang bersangkutan (Katarina) tidak sampai tahu isi akta tersebut,” tukasnya.
Sementara itu, Muhammad Nuji Petugas Seksi Pendaftaran Hak Kantor BPN Jakarta Utara mengakui bahwa Akta Pernyataan, masing-masing Nomor: 26 tanggal 7 Agustus 2017 dan Nomor: 01/KHM /VIII/17 tanggal 7 Agustus 2017, menjadi lampiran dokumen peralihan waris dari Alexander Muwito kepada Aky Jauwan. “Tidak ada lampiran surat nikah atas nama Alexander Muwito,” kata Nuji.
Menurut Hendri, dari keterangan tersebut patut diduga memang ada skenario menghilangkan hak Katarina Bonggo, dengan menyatakan bahwa Alexander Muwito tidak pernah menikah.
Dalam sidang tersebut, Anggota Majelis Hakim Hotnar Simarmata meminta semua pihak fokus pada Pasal 266 KUHP dan melihat secara jernih dari fakta-fakta yang ada. “Fokus pada Pasal 266 KUHP saja berdasarkan fakta dokumen dan keterangan saksi,” serunya. (RN)
Be the first to comment