Jakarta, innews.co.id – Sertifikat tanah elektronik bukan berarti pemerintah mau mengambil tanah rakyat. Justru dengan sertifikat tanah elektronik, masyarakat akan lebih tenang dan tidak perlu khawatir bila terjadi sesuatu hal, misal bencana alam.
Hal ini dikatakan Otty Hari Chandra Ubayani Ketua Umum Ikatan Alumni Kenotariatan Universitas Diponegoro (Ikanot Undip) dalam perbincangannya di TVRI, Sabtu (20/2/2021). “Sebenarnya penggunaan sertifikat tanah elektronik di Indonesia terbilang ketinggalan. Karena di negara-negara maju hal ini sudah lama diberlakukan,” kata Otty.
Dengan sertifikat elektronik ini, lanjutnya, ada banyak manfaatnya. Selain mengurangi pemakaian kertas (paperless), juga pengurusan sertifikat tidak akan memakan waktu lama lagi. “Kalau tadinya mungkin bisa dalam hitungan tahun, maka dengan sistem elektronik ini bisa lebih cepat, mudah, dan murah,” ungkapnya.
Terkait sosialisasi kepada para notaris, Otty menilai, yang lebih kencang hoaks daripada sosialisasinya, sehingga banyak rekan-rekan notaris menjadi takut ‘kehilangan pekerjaan’. “Saya selalu sampaikan kepada teman-teman Notaris/PPAT bahwa tidak akan kehilangan pekerjaan, karena tugasnya membuat akta, bukan sertifikat,” ujar Otty yang juga seorang Notaris/PPAT di Jakarta Selatan ini.
Lebih jauh Otty mengatakan, meski sudah terdaftar secara online, namun ada baiknya masyarakat tetap memegang copy sertifikat yang dilegalisir, baik oleh Kantor BPN ataupun Notaris/PPAT. Sehingga bila ada sengketa, pihak terkait memegang bukti yang telah dilegalisir. Ini juga berguna bagi pengikatan jual-beli yang masih dicicil. Biasanya notaris yang pegang hingga lunas pembayarannya. “Tapi bila sudah elektronik, harus dibuatkan juga ‘rambu-rambunya’ agar ketahuan jelas, suatu tanah itu masih dalam transaksi,” urainya.
Kehadiran sertifikat elektronik ini juga, sambung Otty, merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (omnibus law), terutama Pasal 147 tentang ‘Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan atas tanah dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik’. Ini juga menjawab keraguan banyak pihak, bahwa penggunaan sertifikat elektronik tidak sah dan otentik dalam transaksi.
Selain itu, Pasal 175 ayat 3 yakni, ‘Keputusan berbentuk elektronik berkekuatan hukum sama keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan’. Ini juga sebagai payung hukumnya, dilanjutkan Peratuan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.
“Sebelum adanya sertifikat elektronik, sudah ada lebih dulu, sistem pengecekan elektronik, hak tanggungan elektronik, fidusia elektronik, yang telah berjalan baik,” paparnya.
Bicara maraknya pemalsuan sertifikat dan mafia tanah, menurut Otty, keberadaan sertifikat elektronik juga salah satu tujuannya adalah meminimalisir hal tersebut. “Hal-hal yang berkaitan dengan elektronik sangat membantu menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” tegasnya.
Otty berharap masyarakat tidak perlu risau atau takut dengan sertifikat elektronik. Karena pemerintah pasti sudah memikirkan segala hal yang justru bisa menolong kepemilikan tanah oleh masyarakat. “Saya yakin semua akan berjalan smooth dan lancar,” pungkas Otty. (RN)
Be the first to comment