Jakarta, innews.co.id – Wacana pembentukan Dewan Advokat Nasional (DAN) merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam menerapkan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Seperti diketahui Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan berencana membentuk DAN.
“Dewan Advokat Nasional itu hanya akal-akalan saja. Bahkan, bisa dikatakan itu produk sesat dan bentuk pelanggaran hukum dan penghianatan terhadap UU Advokat,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC PERADI) Jakarta Timur, Johannes L. Tobing, SH., kepada innews, di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Dia menyebutkan, UU 18/2003 sudah jelas dan tegas mengamanatkan wadah tunggal (single bar). Dan, itu sudah terealisasi dengan kehadiran PERADI yang kini dipimpin Prof Otto Hasibuan. Lalu, muncul Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73 Tahun 2015, yang membuat lahir banyak organisasi advokat (OA).
“SK MA ini pun jelas-jelas telah menabrak UU Advokat. Harusnya sebagai orang yang paham hukum, Ketua MA benar-benar bisa menjalankan amanat UU tersebut, bukan malah sebaliknya,” kritik tajam Johannes.
Parahnya lagi, sambung Johannes, seharusnya SK MA 73/2015 itu sudah gugur karena putusan Mahkamah Konstitusi No 35 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa PERADI adalah single bar dan merupakan organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independen state organ), yang juga menjalankan fungsi negara.
“Putusan MK ini seolah tidak digubris oleh MA, entah apa alasannya. Padahal, sebagai lembaga negara yang memutus perkara terkait UU dan putusannya bersifat final and binding, harusnya semua lembaga tunduk terhadap putusan tersebut. Bagaimana penegakkan hukum mau benar di Indonesia kalau lembaga penegak hukumnya saja menabrak aturan yang ada,” tandasnya.
Muncul lagi wacana DAN, di mana saat ini OA-OA berbondong-bondong menyetujui sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan UU Advokat. “Pemerintah seolah bak malaikat penolong yang mau menyatukan advokat lewat DAN. Padahal itu hanya akal-akalan saja, merekayasa dan memanipulasi hukum,” tukas Wakil Sekjen DPN PERADI ini.
Belum lagi, terindikasi kuat ada upaya mengintervensi advokat yang sejatinya mandiri dan independen. “Kalau sudah diatur-atur begitu, advokat tidak lagi independen dan berpotensi dibawah cengkraman pemerintah. Bila demikian, para pencari keadilan yang paling dirugikan,” serunya.
Johannes mengingatkan, OA termasuk organ negara karena menjalankan fungsi-fungsi yang seharusnya dilakukan oleh negara. “Ada 8 kewenangan negara yang dijalankan oleh OA. Tapi sejauh ini, hanya PERADI dibawah kepemimpinan Prof Otto Hasibuan yang dengan konsisten menjalankan ke-8 kewenangan tersebut,” cetusnya.
Ke-8 kewenangan yang dimaksud yakni,
- Menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)
- Membentuk Kode Etik Advokat
- Membentuk Dewan Kehormatan
- Mengawasi Advokat
- Membentuk Komisi Pengawas Advokat
- Menyelenggarakan Ujian Profesi Advokat (UPA)
- Mengangkat Advokat
- Menindak Advokat
“Saya selaku Ketua DPC Peradi Jakarta Timur, bersama segenap anggota dengan tegas menolak DAN. Kami hanya tunduk kepada UU Advokat. Dalam UU tersebut secara jelas dan tegas dikatakan ada 8 organisasi bersatu melebur menjadi satu dan bernama PERADI, di mana negara memberikan 8 kewenangan. Jadi, tidak perlu ada DAN lagi. Ini hanya bikin ruwet dan kacau dunia advokat yang sebenarnya sekarang pun sudah tak beraturan,” ujar Johannes.
Dirinya mengajak seluruh advokat untuk bersatu. “Masak kita tunduk kepada SK MA 73/2015, ketimbang kepada UU Advokat yang kedudukannya jauh lebih tinggi dan mulia dari sekedar Surat Edaran Ketua MA RI? Mari kita jaga dan lindungi UU Advokat ini. Sesungguhnya musuh kita bersama adalah SK MA 73/2015. Maka satu kata dari saya LAWAN!” ajaknya penuh semangat. (RN)
Be the first to comment