Memalukan! Guru Besar Unhas Divonis 6 Bulan Penjara Gegara Laporan Palsu

Sidang putusan perkara Laporan Palsu yang dilakukan Prof Marthen Napang, Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar, di PN Makassar, Rabu (7/2/2024)

Jakarta, innews.co.id – Pengadilan Negeri Makassar memutuskan hukuman penjara 6 bulan kepada Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Prof Dr. Marthen Napang., SH., MH., lantaran membuat laporan palsu dan telah mengakibatkan pelapor Dr. John N. Palinggi, menjadi tersangka selama 17 bulan.

Hukuman ini lebih rendah dari hukuman maksimal, sesuai Pasal 220 ayat (4) KUHP yakni, 1 tahun 4 bulan maupun tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yaitu, 1 tahun 2 bulan.

Dalam amar putusan perkara pidana Nomor 1069/Pid.B/2023/PN. Mks, yang dibacakan secara marathon oleh tiga hakim yakni, Eddy, SH (Ketua) dan Ir. Abdul Rahman Karim, SH., serta Alexander Jakob Tetelepta, SH., MH., (anggota) dikatakan, Marthen Napang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memberitahukan atau mengadukan bahwa telah dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu tidak dilakukan sebagaimana dakwaan A alternatif pertama penuntut umum.

Prof Marthen Napang, terdakwa kasus laporan palsu, tampak berjalan gontai memasuki ruang sidang di PN Makassar, Rabu (7/2/2024)

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama enam bulan,” kata Eddy pada sidang putusan di PN Makassar, Rabu (7/2/2024).

Ditemui usai sidang, Kuasa Hukum John Palinggi, Muhammad Iqbal menjelaskan, “Terdakwa Marthen Napang terbukti melakukan tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur delik Pasal 220 KUHP dan divonis 6 bulan penjara”.

Menurutnya, bila tidak ada upaya hukum lain, maka Terdakwa wajib menjalani hukuman penjara. “Sejauh ini tidak ada perintah pengadilan untuk segera melakukan penahanan. Kalau sudah inkrah, maka Terdakwa mau tidak mau harus menjalani hukuman di balik jeruji besi,” tukasnya.

Suasana sidang putusan PN Makassar terhadap perkara pidana Nomor 1069/Pid.B/2023/PN. Mks

Sementara itu, JPU Rahmawati Azis juga belum memutuskan apakah akan banding dengan putusan tersebut karena jauh dibawah tuntutan yang disampaikan. “Kami akan pikirkan dulu Majelis Hakim (kemungkinan untuk banding),” kata Rahmawati, saat sidang putusan. Demikian juga Terdakwa Marthen Napang juga belum memutuskan apakah akan banding atas putusan tersebut.

Hingga berita ini diturunkan, Marthen Napang belum memberikan keterangan terkait putusan tersebut. Bahkan, ketika coba dikonfirmasi lewat pesan singkat, belum dibalas.

Lakukan penipuan

Kasus yang berujung vonis penjara bagi Marthen Napang ini diawali dengan temuan dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pemalsuan surat putusan Mahkamah Agung yang ia lakukan terhadap perkara A. Setiawan, orangtua angkat John Palinggi.

Sepanjang mengurus perkara A. Setiawan, John Palinggi mengaku telah mengalami kerugian sebesar Rp 950 juta. John terkejut ketika putusan MA yang diurus Marthen Napang dinyatakan palsu.

Prof Dr. Marthen Napang, SH., MH., Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar, divonis 6 bulan penjara gegara memberikan laporan palsu

Sejak ketahuan putusan tersebut palsu, ponsel Marthen mendadak tak bisa dihubungi. Pun e-mailnya tak berfungsi lagi. John pun berinisiatif menyurati pihak Unhas mempertanyakan keberadaan Marthen.

Oleh Marthen, surat tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baiknya. Lantas, dia melaporkan John Palinggi ke Polrestabes Makassar dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Akibatnya, John dijadikan sebagai tersangka selama 17 bulan.

Dari gelar perkara yang dilakukan, ternyata tidak ditemukan kesalahan yang dilakukan John Palinggi. Akhirnya, kasus tersebut di SP3. Merasa tak puas, Marthen mempraperadilankan kepolisian, namun gugatannya ditolak PN Makassar.

Muhammad Iqbal Kuasa Hukum Dr. John Palinggi (kiri) bersama Dr. Rustan, saksi pada perkara laporan palsu di PN Makassar

Lagi, Marthen melaporkan John untuk kasus yang sama. Namun Polda Sulsel menghentikan kasus tersebut setelah gelar perkara. Segala cara dilakukan Marthen, termasuk menggugat perdata Reskrim Polda Sulsel puluhan miliar di PN Makasar. Gugatannya ditolak. Pun saat banding, Pengadilan Tinggi Sulsel kembali menolak gugatan Marthen.

Berbalik, John melaporkan Marthen dengan tuduhan membuat laporan palsu. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan semua pihak bahwa tindakan Marthen mempidanakan John salah. Meski proses sempat berbelit, sampai akhirnya PN Makassar memvonis Marthen kurungan penjara 6 bulan.

Selain sebagai Guru Besar di Unhas, kabarnya Marthen juga sebagai Ketua Umum Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Teologia Indonesia Indonesia Timur (STT Intim) Makassar dan Pengawas di Akademi Terapi Wicara di Jl. Kramat VII No. 27, Jakarta Pusat.

Pengadilan Negeri Makassar, dekat Lapangan Karebosi, tempat perkara Marthen Napang disidangkan

Kabarnya lagi, Marthen Napang telah menggunakan gelar Profesor jauh sebelum resmi ditetapkan pada 2019 lalu. Konon, gelar profesornya dicantumkan pada akta otentik STT Intim, sebelum 2019. Patut diduga, dirinya melakukan pemalsuan gelar demi kepentingan tertentu. Seperti diketahui, tindakan pidana memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik ancaman pidananya 5 tahun penjara. Sementara menggunakan akta otentik yang memuat keterangan palsu 6 tahun penjara.

“Saya sedih, karena sekolah teologi (STT Intim) yang melahirkan pendeta/rohaniawan pun bisa ditipunya. Seharusnya Sekolah Pendeta clear and clean. Jangan dikotori dan dibusukkan dengan oknum yang memakai gelar palsu,” tukasnya.

Lebih jauh Iqbal mengatakan, selain perkara di PN Makassar, saat ini tengah masuk pada penyelidikan perkara pemalsuan putusan MA di Polda Metro Jaya (PMJ). “Di PMJ, Dr. John Palinggi telah melaporkan Marthen Napang tentang dugaan Penipuan (Pasal 378 KUHP), Sub Penggelapan (Pasal 372 KUHP), Sub Pemalsuan Surat (Pasal 263 KUHP). Sekitar dua minggu lagi rencananya akan dilakukan gelar perkara,” terangnya.

Akankah putusan PN Makassar menggugurkan gelar Profesor yang disandang Marthen?

Menurut Prof Nizam Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dikti Ristek), Kemendikbudristekdikti, “Kalau yang bersangkutan aparatur sipil negara (ASN), bisa diberikan sanksi pencabutan status maupun jabatan fungsionalnya setelah diputuskan oleh pengadilan”. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan