Jakarta, innews.co.id – Hampir setahun kasus dugaan penganiayaan terhadap Dr. Ida Rumindang Radjagukguk belum juga selesai. Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, pelaku yang tak lain adalah menantunya sendiri Margareth Sihombing ternyata masih bebas berkeliaran. Benarkah polisi tak punya daya menangkap pelaku?
Melalui Wawan Katim 2 Polsek Menteng, Jakarta Pusat, diketahui, polisi telah menyambangi kediaman orangtua Margaretha di Bekasi. Namun, tidak bertemu dengan tersangka. “Kami sudah meminta kepada orangtua tersangka agar bersedia koperatif dengan menyuruh tersangka Margareth datang ke Polsek Menteng untuk memberikan keterangan. Setelah dua kali kita panggil dan sudah hampir satu tahun kasus ini tersangka selalu mangkir,” kata Wawan dalam keterangannya yang diterima innews, Kamis (9/9/2021).
Dia mengaku, pihaknya mencoba melakukan pendekatan persuasif agar tersangka bersedia datang ke Polsek memberikan keterangan. “Kami ingin secepatnya menyelesaikan kasus ini agar tidak berlarut-larut. Bagaimana kasus ini bisa selesai, jika tersangka sendiri tidak mau datang memberikan keterangan kepada penyidik,” ungkapnya.
Menurut Wawan, pihaknya sudah beberapa kali menghubungi tersangka. Namun, ia selalu kesulitan karena ponsel tersangka sering tidak aktif. “Kami sudah minta juga kepada orangtua tersangka agar membujuk anaknya datang ke Polsek dan koperatif dengan penyidik. Tersangka sebagai orang yang berpendidikan S2 hukum seharusnya mengerti. Jika sudah dua kali mangkir, maka ia memahami risikonya. Jangan sampai kami lakukan jemput paksa tersangka di mana pun berada. Kewenangan penyidik itu dilindungi undang-undang. Artinya, tersangka bisa saja kami jemput paksa saat dia lagi meeting, makan atau bertemu orang,” tegasnya.
Karena itu, Wawan memberikan waktu bagi tersangka maupun orangtua tersangka untuk koperatif dengan penyidik agar kasus ini bisa selesai, baik secara hukum maupun mediasi kekeluargaan. “Tetapi ingat, kami penyidik punya batas kesabaran karena kami menjalankan tugas hukum yang diamanahkan negara,” tukasnya.
Kepada innews, Dr. Djonggi Simorangkir yang juga Pakar Hukum dan Advokat Senior bersama Dr. Ida Rumindang Radjagukguk menerangkan, dugaan penganiayaan itu terjadi di Apartemen Menteng, Jakarta, Kamis (22/10/2020) malam. Ketika itu, tersangka datang bersama tiga temannya, Nurdamewati Sihite, Hairia Marasabessi, dan Bachtiar Marasabessi.
Tersangka yang tadinya hanya mau menjemput anaknya tiba-tiba membuat keributan. “Istri saya tiba-tiba didorong keras hingga kepalanya terbentur siku atas lemari kaca,” kisah Djonggi. Hasil visum et repertum di RSCM, kepala Ida (62 tahun) mengalami luka memar. Selanjutnya, Margaretha menampar dahi Ida dan meninju dada sebelah kiri berkali-kali. Akibatnya, otot dada Ida mengalami cidera. “Istri saya sulit setiap bernafas dan kesakitan. Mau tidur telentang atau berbalik badan, ia selalu menjerit sakit,” ungkapnya.
Baik Djonggi, keponakannya, pengasuh anak-anak tersangka, dan dua cucunya menjadi saksi mata penganiayaan tersebut. “Saya hanya bisa berharap, cucu saya tidak mengalami trauma melihat perilaku ibunya yang menganiaya neneknya,” imbuhnya.
Cabut keterangan
Dalam perjalanan waktu, dua rekan tersangka yang ikut saat kejadian penganiayaan yakni, Nurdamewati Sihite dan Hairiya Marasabessi mencabut seluruh keterangan dalam BAP sesuai LP 251/K/X/2020/Sektor Menteng. Mereka juga mencabut BAP di Polda Metro Jaya LP 115/III/Yan.2.5/2021/SKPT-PMJ. Bahkan, teman yang menjadi kuasa hukum tersangka pun enggan menangani kasus tersebut. Menurut para saksi ini, tersangka tidak jujur dalam memberikan keterangan.
Tidak hanya mencabut keterangan di polisi, rekan tersangka juga mengunjungi kantor Djonggi Simorangkir di Bandung. “Mereka sendiri yang datang ke rumah saya untuk minta maaf. Tanpa ada yang memaksa atau mengancam, karena rasa bersalah dan takut akan dosa. Apalagi, setelah melihat rekaman video peristiwanya secara utuh,” tutur Ida Rumindang. Ketiga saksi dalam kasusnya telah berbuat kesalahan dengan mengatakan hal yang tidak benar atau bohong.
Nurdamewati Sihite dan Hairiya Marasabessi membuat surat pernyataan, menyatakan mencabut seluruh keterangan BAP di Polda Metro Jaya dan Polsek Menteng Jakarta. Mereka menilai tersangka tidak jujur dalam memberikan keterangan kepada mereka.
Menantu memalukan
Djonggi dengan nada berat mengaku tidak menyangka perilaku mantunya sangat jahat dan tidak bermoral. “Ternyata jauh panggang dari api. Padahal, saya bantu dia jadi advokat di Pengadilan Tinggi Jakarta, kuliahkan Notariat di Universitas Padjajaran Bandung, dan mengambil spesialis kurator di Jakarta. Saya memberikan segala macam fasilitas termasuk tabungan ratusan juta rupiah, perhiasan mahal satu set, termasuk untuk cucu, tetapi tidak berterima kasih. Ia kabur tidak mau pulang ke Bandung dengan alasan kerja di Jakarta gaji Rp25 juta. Ia seharusnya menemani suaminya sebagai jaksa di Bandung dan mengurus kedua puterinya. Juga saya beri tempat tinggal yang baik dengan segala fasilitas mobil, pembantu, makan tidak bayar, tabungan untuk cucu-cucu senilai ratusan juta rupiah, dan lain-lain. Justru ia menganiaya dan mengancam mertuanya yang sudah jadi seorang nenek (ompung) dan menjelekkan nama baiknya,” urai Djonggi.
Awalnya, Djonggi berpikir tersangka orang baik lantaran berasal dari keluarga terhormat. Bapaknya pendeta (mantan Sekjen HKBP) dan ibunya seorang guru. “Ternyata, saya salah. Dia sudah dibutakan oleh harta dunia,” ujarnya penuh penyesalan.
Djonggi menambahkan, dirinya sudah beberapa kali meminta tersangka pulang ke Bandung untuk mendampingi suaminya yang bertugas di sana. “Dia (tersangka) mau pulang ke Bandung jika diberikan rumah tersendiri, tidak mau tinggal di rumah milik mertuanya dan juga tidak mau menempati rumah yang dikontrak suaminya. Padahal, jelas-jelas suaminya saat ini tengah meniti karir,” papar Djonggi lagi.
Penuh kebohongan
Dengan tegas Ida Rumindang mengatakan, bukti-bukti yang diberikan tersangka ke Polda Metro Jaya semuanya adalah kebohongan. Bukti tersebut adalah hasil rekayasa. “Luar biasa kebohongannya. Dia melakukan penganiayaan terhadap saya, tetapi dia melapor balik ke Polda Metro Jaya seolah-olah dia yang dikeroyok. Ternyata itu buatan sendiri. Tersangka melakukan hal tersebut dengan tujuan menekan saya agar mencabut LP di Polsek Metro Menteng,” jelas Ida.
Begitu juga tentang resume medis dari Primaya Hospital Bekasi. Dengan pencabutan kesaksian dalam BAP perkara penganiayaan tersebut, Ida berharap polisi makin mudah menindaklanjuti kasus tersebut. “Kebenaran kapan pun akan muncul tepat waktu. Satu tahun lebih saya sakit, kecewa, sedih, dan menangis, karena nama baik kami sudah tercemar. Waktu sudah banyak terbuang. Pekerjaan terbengkalai. Karir anak saya Theo terkendala,” tukasnya.
Konon kabarnya, ada orang-orang suruhan ingin mengganggu Theo (suami tersangka), pada malam takbiran 2021. “Saya dan suami juga dapat laporan dari satpam kompleks perumahan di Bandung. Ia pernah mengusir orang-orang suruhan tersebut karena sudah mengganggu ketenangan. Mereka berkeliaran tengah malam di sekitar rumah saya. Katanya, mereka itu mendapat bayaran sejumlah uang,” akunya.
Lebih jauh Djonggi mengaku, dirinya sudah meminta bantuan 6 pendeta HKBP, namun tidak digubris juga oleh orangtua tersangka. “Saya heran apa motivasi sang pendeta (orangtua tersangka) minta besanan ke saya? Apa sebatas harta saja? Kalau iya, payah kalau begitu, tidak tulus berarti dia (tersangka) mencintai anak saya,” pungkas Dr. Djonggi Simorangkir yang mantan Panitia Nasional Jubileum 150 tahun HKBP dan cicit seorang Pendeta HKBP di jaman Ompui Pdt. DR. I.L. Nommensen ini. (RN)
Be the first to comment