Mengungkap Masalah Pelik Dibalik Kesohornya Jembatan Holtekamp Papua

Jembatan Holtekamp yang menjadi ikon kebanggaan rakyat Papua menyisakan masalah yang pelik

Jakarta, innews.co.id – Jembatan Holtekamp yang menjadi ikon kebanggaan rakyat Papua menyisakan masalah pelik. Kini, persoalannya sudah masuk ke tingkat arbitrase.

Masalah muncul ketika terjadi keterlambatan PT Fagioli Lifting and Transportation Indonesia (Fagioli Indonesia)–perusahaan PMA yang sahamnya 99% dimiliki oleh Fagioli Singapura, yang ditunjuk sebagai sub-kontraktor, dalam menyelesaikan pemasangan jembatan. Tindakan wanprestasi ini menimbulkan kerugian bagi PT Waagner Biro Indonesia (WBI) perusahaan yang berpusat di Wina, Austria, yang menangani proyek tersebut.

Guna menyelesaikan perselisihan, WBI mengajukan permohonan penyelesaian sengketa arbitrase ke Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), setelah sebelumnya sudah dicoba melalui perundingan dan gagal. Selama proses arbitrase, Fagioli Indonesia tidak hadir. Sampai akhirnya muncul Putusan Arbitrase No.809/II/P.ARB-BDS/2019, tanggal 07 Januari 2020, yang menghukum Fagioli Indonesia. Putusan arbitrase tersebut kemudian digugat oleh Fagioli Indonesia ke Pengadilan Negeri Batam dan melahirkan Putusan No.66/Pdt.G/2020/PN.Btm, yang membatalkan putusan arbitrase.

Merasa tidak puas, melalui Kuasa Hukumnya Kantor Advokat Palmer Situmorang & Partners, yang diwakili oleh Andrian Meizar dan Carine Situmorang, WBI mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Putusan akhir MA No. 126 B/Pdt.Sus-Arbt/2021 tanggal 08 Februari 2021, isinya membatalkan Putusan PN Batam dan menguatkan Putusan Arbitrase.

“Hukum Acara tidak mengatur adanya upaya hukum apa pun untuk menguji putusan banding MARI tersebut,” kata Palmer Situmorang dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (21/12/2021).

Palmer mengatakan, sejak adanya putusan arbitrase, pihaknya telah berulang kali menyurati Fagioli Indonesia, dan meminta agar dengan sukarela mematuhi putusan arbitrase. Mengingat pada putusan terkandung uang paksa yang dihitung perhari. Bila tidak dijalankan, tentu semakin lama semakin besar nilainya. Dan pastinya akan membebani Fagioli Indonesia.

Namun apa lacur, Fagioli Indonesia bukannya dengan sukarela mematuhi putusaan berkekuatan hukum tetap tersebut, alih-alih malah mengajukan Peninjauan Kembali (PK). MARI mengembalikan berkas perkara ke PN Batam, lantaran dinilai tidak memenuhi syarat formil untuk diteruskan sebagai pemeriksaan PK.

Ketika perkara arbitrase dalam proses banding, Fagioli S.p.A. (Italia), induk perusahaan Fagioli Indonesia, mendaftarkan gugatan atas objek perkara yang sama di Tribunale Reggio Emilia, Italia, melawan WBI dengan melibatkan induk perusahaannya, Waagner Biro Bridge Systems GmbH (Austria) sebagai Tergugat. Putusan perkara tersebut, menghukum Penggugat Fagioli S.p.A. untuk membayar denda sebesar €. 8.537,00 atau setara dengan Rp.139.203.313,00. Meski jelas-jelas telah kalah di berbagai perkara, namun tetap saja Fagioli Indonesia tidak mau melaksanakan putusan arbitrase dengan sukarela. Mereka malah memilih terus berperkara hingga tingkat PK.

Logikanya, dalam berbisnis dengan itikad baik di Indonesia, sejak putusan arbitrase, yang secara undang-undang disebutkan berkekuatan hukum tetap, maka Fagioli Indonesia sepatutnya menghormati putusan tersebut. Sayangnya, kepatuhan pada hukum tersebut tidak muncul. “Semula diperkirakan bahwa orang bule (asing) itu patuh dan hormat pada hukum. Nyatanya tidak selalu demikian,” kata Palmer Situmorang dan Andrian Meizar Kuasa Hukum WBI.

Lebih jauh Palmer menerangkan, putusan arbitrase yang dikuatkan oleh Putusan MARI, isinya antara lain menghukum Fagioli Indonesia membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp. 11.321.064.210 dan juga uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.25.000.000 per hari keterlambatan sejak putusan resmi disampaikan kepada Fagioli Indonesia pada awal Februari 2020.

“Dikarenakan keterlambatan Fagioli Indonesia dalam melaksanakan semua isi putusan sudah mencapai lebih dari 670 hari, maka jumlah tersebut tentunya akan semakin besar lagi jika Fagioli Indonesia semakin lama melaksanakan putusan,” ungkap Palmer.

Setelah berkas PK dikembalikan MARI, WBI melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan eksekusi ke PN Batam tempat domisili dan proyek Fagioli Indonesia berlokasi. Dan permohonan tersebut dikabulkan sehingga terbitlah penetapan eksekusi dan surat teguran pengadilan (aanmaning) No. 57/PDT.EKS.ARB/2021 yang memperingatkan agar Fagioli Indonesia selaku Termohon Eksekusi hadir pada 29 November 2021 untuk melaksanakan putusan. Namun lagi-lagi Fagioli Indonesia mengabaikannya dan tidak hadir di PN Batam untuk memenuhi kewajibannya menjalankan seluruh isi putusan secara sukarela.

“Sikap tidak patuh dari PMA dalam menjalankan putusan yang berkekuatan hukum tetap hendaknya menjadi perhatian bagi Pemerintah Indonesia. Melalui BKPM selaku pengawas PMA atau Kemenlu, selayaknya menegur perusahaan asing yang tidak mematuhi putusan pengadilan,” seru Palmer.

Padahal, lanjutnya, sebelum ada putusan banding MARI, atas permintaan Kedutaan Besar Italia di Jakarta, Kementerian Luar Negeri RI, justru sempat mencampuri urusan peradilan yang sedang berjalan dengan cara meminta para pihak ikut mencari “penyelesaian” melalui rapat virtual (online) bulan Agustus 2020 yang melibatkan Pejabat Direktur Eropa I Kemlu RI.

Menurut Palmer, tidaklah adil, setelah diperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menghukum Fagioli, baik di Italia maupun di Indonesia, namun baik Kedutaan Italia di Jakarta maupun Pemerintah Indonesia sendiri tidak membantu agar putusan pengadilan Indonesia dihormati.

Palmer menambahkan, sekedar perbandingan, di Italia, hukuman yang dibebankan kepada Fagioli S.p.A. (Italia) langsung dilaksanakan (eksekusi), sementara di Indonesia sudah permohonan eksekusi dan untuk aanmaning saja butuh waktu berbulan-bulan. “Sangat disayangkan, terasa masih kuat mentalitas sisa korban feodalisme pada pejabat negeri ini,” tutur Palmer Situmorang.

Dia melanjutkan, betul Indonesia memerlukan investor. Namun, terhadap perusahaan asing yang tidak patuh pada hukum seharusnya ditegur dan diberi sanksi. “Indonesia harus menata perusahaan asing yang avonturir. Dalam kasus ini, diamnya instansi pemerintah sangat disayangkan, tidak sejalan dengan sikap Presiden Joko Widodo yang kerap mengkampanyekan bahwa Indonesia adalah tempat yang aman dan memberikan kepastian hukum dalam berusaha,” tegas Palmer.

Kembali ke inti persoalan, PN Batam telah memberikan teguran ke-2, pada 13 Desember 2021, dimana dalam dua kali pertemuan yang dihadiri oleh Prinsipal Fagioli. Ketua PN Batam telah memperingatkan agar Fagioli Indonesia dengan sukarela melaksanakan putusan. Namun demikian, Fagioli Indonesia belum melaksanakan isi putusan dengan baik dan sukarela. Masih saja melakukan tawar menawar sebagaimana dilakukannya dalam beberapa pertemuan para pihak atas undangan dan prakarsa dari Kedutaan Besar Italia di Jakarta.

Palmer menegaskan, bila dalam 7 hari kedepan, Fagioli Indonesia tetap belum menjalankan putusan, maka WBI akan mengajukan sita eksekusi atas semua aset di proyek manapun yang dimiliki oleh Fagioli Indonesia. Selanjutnya aset akan dilelang untuk memenuhi putusan arbitrase. “Apabila hasil lelang tidak mencukupi, WBI akan mendaftarkan perkara terhadap Fagioli Singapura sebagai pemilik 99% saham Fagioli Indonesia. Jika itu masih juga belum cukup, maka WBI akan menggugat di Italia. Karena terbukti Fagioli Italia merupakan afiliasi dari Fagioli Indonesia, sebagaimana kantor pusatnya pernah menggugat WBI di Pengadilan Italia. Dalam hal demikian, maka risiko uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.25.000.000 per hari akan terus semakin membengkak hingga seluruh amar putusan dilaksanakan dengan baik,” bebernya.

Diterangkannya, pihak yang bersengketa adalah sama-sama PMA. “Seharusnya wajah pengadilan dan hukum Indonesia tidak boleh canggung dalam menegakkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Juga seharusnya pemerintah dan institusi negara berdiri tegak menatap kedepan dan menegakkan hukum di seluruh jurisdiksi NKRI. Indonesia akan kuat dan disegani jika mampu memperlihatkan komitmennya pada kepastian hukum, bukan sebaliknya. Dengan demikian investor asing akan melihat bahwa hukum di Indonesia ada kepastian seperti harapan Presiden Jokowi,” tutupnya. (RN)

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan