Jakarta, innews.co.id – Menarik membedah akulturasi sosial dan religi Muslim Tionghoa di Persada ini. Faktanya, akulturasi tersebut sudah terjadi sejak berabad lampau.
Sebagai bekal pengetahuan, secara khusus innews mewawancarai Dr. H. Serian Wijatno, SE., MM., MH., Tokoh Muslim Tionghoa Indonesia yang juga dikenal sebagai Wakil Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI). Selain itu, Serian juga aktif sebagai Ketua Lembaga Pendidikan PP Persaudaraan Muslimin Indonesia, Tim Ahli Pinbas MUI, dan Wakil Ketua Umum PITI Pusat.
Berikut perbincangannya dengan pria yang juga dikenal sebagai penulis buku anyar, Senin (19/4/2021). Buku dengan tema sentral “Islam Iman Semesta Petualangan Ideologi dalam Toleransi Beragama”, siap diluncurkan.
Bisa dikisahkan secara histori akulturasi relasi antara Tionghoa dan Islam di Indonesia?
Diskursus tentang relasi antara Tionghoa dan Islam selalu menarik, terutama di Indonesia. Pasalnya, sejarah mencatat bahwa keberadaan warga Tionghoa yang Muslim sudah ada sejak abad ke-15. Bahkan, Sejarawan Lombard dan Salmon (2001) mengungkapkan interaksi antara orang-orang Tionghoa dan budaya lokal pada saat itu digambarkan dalam gaya arsitektur masjid. Dengan menyebutnya sebagai “subkultural Muslim Peranakan”, mereka melihat interaksi tersebut sebagai bentuk “persekutuan suci” kosmopolitan, yang mengkombinasikan antara peran-peran positif teologi Islam dan teknik-teknik Tionghoa.
Apa saja andil warga Muslim Tionghoa kala itu?
Banyak etnis Tionghoa sudah memeluk agama Islam, khususnya di Pulau Jawa. Bahkan, mereka memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Konon, warga Tionghoa Muslim memiliki andil berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Disebutkan juga beberapa wali di Jawa yang dikenal dengan Walisongo juga memiliki asal-usul Tionghoa.
Dalam bukunya, Al Qurtubi (2003) juga memaparkan bukti pengaruh Tionghoa Muslim di masa lampau yang nampak pada arsitektur di masjid-masjid dan makam-makam tua di Jawa, seperti makam Sunan Giri di Gresik, desain Keraton Cirebon, dan arsitektur Masjid Demak di Jawa Tengah. Di Jakarta, Masjid Angke dan Masjid Kebon Jeruk juga memiliki ornamen Tionghoa di pintu gerbang dan atapnya. Selain tentunya kisah heroik Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam dan beberapa kali mengunjungi Nusantara ketika berlayar ke Samudera Hindia.
Jadi, orang Tionghoa menganut Muslim, selain merupakan hidayah, juga bentuk pembauran kala itu?
Betul, warga Tionghoa sangat fleksibel dalam bermasyarakat. Masuknya orang Tionghoa menjadi Muslim merupakan hidayah dari Sang Pencipta yang teraplikasikan dalam kehidupan sosial. Dalam perjalanannya, banyak juga warga Tionghoa yang melekatkan nama-nama Jawa pada namanya.
Konon kabarnya, sempat terjadi penurunan jumlah orang Tionghoa menjadi Muslim, di masa penjajahan Belanda, Benarkah?
Benar. Di masa pemerintahan kolonialis Belanda, sedikit orang Tionghoa menjadi Muslim lantaran adanya pembatasan hubungan dengan penduduk lokal yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda kala itu.
Pada 1740, terjadi pembantaian massal oleh pemerintah Belanda, salah satunya guna mencegah terjadinya konversi agama. Sebab, bagi pemerintah Belanda kala itu, hal tersebut menjadi kerugian besar.
Apakah warga Tionghoa ikut serta dengan masyarakat lokal dalam memerangi kolonial?
Ya, meski ada upaya Pemerintah Hindia Belanda kala itu melarang konversi agama, namun keputusan memeluk Islam di kalangan Tionghoa tidak berhenti. Karena ini berkaitan dengan hidayah yang dimiliki tiap-tiap orang. Bahkan, beberapa dari mereka ikut terlibat dalam berbagai gerakan anti kolonial dan keagamaan di tingkat lokal.
Pada awal 1930-an, ada kegiatan penyebaran Islam yang meningkat oleh Tionghoa Muslim kepada Tionghoa non-Muslim untuk masuk Islam. Bahkan di Sulawesi, Ong Kie Ho mendirikan Partai Islam yang membuatnya kemudian diasingkan ke Jawa pada 1932.
Padahal, tujuan didirikan Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII), salah satunya untuk mengangkat status etnis Tionghoa. Di Medan, bersama beberapa pengikutnya Yap A Siong atau Haji Abdussomad mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT), pada 1936. Pasca kemerdekaan, PIT yang saat itu dipimpin Abdul Karim Oei Tjeng Hien pindah ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan perkumpulan Tionghoa Muslim yang berbasis di Bengkulu. Mereka bergabung dan mendeklarasikan diri menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), pada 1961. Namun karena situasi politik pasca 1965, PITI kemudian menghapuskan identitas Tionghoa di namanya.
Lalu, bagaimana keadaan Muslim Tionghoa pasca runtuhnya Orde Baru?
Runtuhnya Orba, memberi angin segar bagi PITI. Oleh Presiden Abdurrahman Wahid, PITI diperbolehkan menggunakan kata Tionghoa lagi sebagai namanya. Sejak itu, orang-orang Tionghoa Muslim bisa lebih leluasa dalam menjalankan ibadah maupun budaya mereka. Mereka menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan dengan umat Muslim di Tiongkok.
Faktor histori tersebut tampaknya menguat hingga sekarang bahkan dalam konteks geopolitik global?
Benar. Dalam konteks geopolitik global, negeri leluhur Tionghoa yakni, Republik Rakyat China (RRC) justru lebih bersahabat terhadap negara-negara Muslim di dunia, termasuk Indonesia. Indikasinya, RRC selalu berada dalam satu barisan dengan negara-negara Muslim seperti Indonesia dalam menghadapi isu konflik di Timur Tengah.
Bisa dibayangkan saja, pada zaman Nabi pernah ada perkataan yang menyebutkan Cina sebagai negeri tujuan menuntut ilmu. Jarak Mekkah ke Cina tidak terlalu jauh yaitu hanya sekitar 13.200 kilometer. Cina dipandang sebagai wilayah dengan peradaban yang sangat populer sejak 610 M. Hal ini paling tidak menjadi daya tarik umat Islam untuk bertandang ke Cina guna ngangsu kaweruh pengetahuan, peradaban, dan budayanya yang cukup tinggi. Artinya, akulturasi ini tidak hanya menjadi dampak aktifnya Muslim Tionghoa masuk dan berperan di Indonesia, akan tetapi juga aktifnya umat Islam dalam berakulturasi dengan budaya Tionghoa.
Jadi, bagaimana Anda memaknai akulturasi sosial dan religi ini?
Akulturasi sejatinya merupakan imbas dari visi Tuhan menciptakan keberagaman yang diproklamirkan dalam Qur’an Surat al Hujuroot ayat 11. Tuhan menciptakan keberagaman laki-laki dan perempuan serta mereka dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal. Jadi, dari saling mengenal inilah tercipta akulturasi, tidak terkecuali adanya Muslim Tionghoa yang lahir dari akulturasi budaya dan agama antara Islam dan Tionghoa.
Karena itu, relasi yang luar biasa antara Muslim dan Tionghoa khususnya Muslim Tionghoa adalah relasi yang sangat harmonis. Tak hanya bagi komunitas Muslim, tapi juga kalangan Tionghoa dalam rangka saling menguatkan satu sama lain khususnya di Indonesia, dimana kekuatan mayoritas Muslim akan bersinergi dengan warga Indonesia keturunan Tionghoa wabil khusus Muslim Tionghoa dalam mewujudkan Indonesia yang baldatun, thoyibatun wa robbun ghofuur.
Dengan adanya Bhinneka Tunggal Ika, umat beragama yang syahdu dan taqwa memegang prinsip persatuan sebagai hidayah Allah atas negara kita, Indonesia. Karena itu umat Muslim Tionghoa tidaklah berbeda dari khalayak umat lainnya, hadir untuk saling menguatkan dan meneguhkan karena kembali pada tujuan yang di ridhoi oleh-Nya.
(RN)
Be the first to comment