Jakarta, innews.co.id – Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XX/2022 terkait periodisasi pimpinan Peradi, kian memperparah kondisi organisasi advokat di Tanah Air, setelah sebelumnya keluar Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, yang berdampak Peradi terbelah-belah.
Sejatinya, Peradi adalah wadah yang independen, bebas dari intervensi pihak manapun. Meski termasuk dalam 4 pilar penegak hukum di Indonesia dengan Hakim, Jaksa, dan Polisi, namun Peradi sebagai wadah berhimpunnya para advokat tidak dibentuk oleh pemerintah, melainkan keinginan dari para advokat untuk berserikat dan berkumpul, sesuai amanat Pasal 28 UUD 1945.
“Hasil Rakernas Peradi di Batam, Kepulauan Riau, baru-baru memutuskan bahwa putusan MK itu sifatnya non-executable (tidak harus dieksekusi),” kata Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi), kepada para awak media, di sela-sela Perayaan HUT Peradi ke-18, di Peradi Tower, Jakarta Timur, Rabu (21/12/2022).
Bagi Otto, tidak seharusnya MK mencampuri urusan internal Peradi karena organisasi ini lahir dari anggota, bukan dibentuk oleh negara. “Soal periodisasi pimpinan Peradi kan bagaimana kemauan anggota saja, tidak perlu diatur-atur oleh MK,” tegasnya.
Otto membandingkan, Ketua Umum partai politik saja bisa tidak diganti-ganti, sepanjang anggota menghendaki. Lantas kepada Peradi jadi dibatasi. “Dan lagi, kan kami punya AD/ART yang menjadi ‘kitab suci’ organisasi advokat. Itu saja jadi acuannya, kenapa harus diputuskan yang lain-lain? Tidak ada kompetensi MK mencampuri urusan internal Peradi,” tukasnya.
Pada Rakernas Peradi di Batam, baru-baru ini, sambung Otto, seluruh anggota bersepakat bahwa putusan MK tersebut sifatnya non-executable (tidak harus dijalankan). Artinya, putusan tersebut bisa diabaikan.
“Ini menjadi pelajaran bagi kita semua para advokat, bahwa independensi menjadi hal mutlak yang harus diperjuangkan. Tidak mudah memang karena tentu banyak pihak tidak suka dengan keeksisan Peradi saat ini,” serunya.
Meski begitu, Otto menilai, kalau independensi Peradi dihancurkan, maka penegakkan hukum (rule of law) tidak akan pernah tercipta. “Advokat harus independen, baik secara profesi maupun organisasi. Jangan mau diobok-obok pihak luar,” tandasnya.
Diakuinya, sejak Peradi terbentuk, banyak pihak coba menggoyang, bahkan meluluhlantakkan wadah tunggal sebagai amanat dari UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ini. “Sudah dibentuk dengan susah payah, begitu jadi malah mau dihancurkan. Ini kan aneh,” aku Otto kebingungan.
Karenanya, dia mengajak semua advokat yang terhimpun di Peradi untuk selalu yakin bahwa independensi menjadi hal mutlak yang harus dimiliki Peradi. Juga single bar harus terus diperjuangkan. “Sebanyak apapun OA sekarang, single bar harus tetap diperjuangkan, karena itu konsep yang tepat dan amanat dari UU. Kalau tidak dIjalankan, sama artinya kita melanggar UU. Mahkamah Agung pun harus memahami ini,” ujarnya lugas.
Dirinya yakin, para advokat di Peradi memiliki niat bersih dalam berorganisasi dan bisa memahami konsep single bar sebagai pilihan tepat. “Kalau di sana sudah keluar dari rel jangan diikuti. Kita harus tetap konsisten dan berjalan di rel yang benar. Bekerja ikhlas dan berorganisasi dengan cara-cara yang tidak menabrak aturan,” pungkasnya. (RN)
Be the first to comment