Pasal Menghina Lembaga Negara, Kejahatan atau Pembungkaman?

Dr. H. Joni, SH., MH., Notaris, Pengurus Ikatan Notaris Undip Pusat, dan pengamat hukum, sosial, politik kemasyarakatan

Oleh : Dr. H. Joni, SH., MH*

MENGHANGAT kembali, ketentuan yang berkenaan dengan penghinaan terhadap keberadaan Lembaga Negara, khususnya Kepala Negara. Ketentuan tentang penghinaan atau apapun namanya yang secara yuridis ada dalam RUU KUHP, mengancam orang yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal dua tahun penjara.

Substansinya, tindakan yang dinilai merendahkan martabat lembaga negara, diancam penjara. Satu bangun pola pikir yang secara yuridis dinilai sebagai refleksi dari norma yang bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat setiap orang. Secara yuridis juga bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil Politik, terlebih amandemen konstitusi sudah memasukkan HAM. Oleh karena itu, tidak sesuai dengan konstruksi berpikir yang bernuansa kritik konstruktif dalam era demokrasi.

Rancangan ancaman delik di atas masuk dalam Bab IX Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Bagian Kesatu, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, berikut Pasal 353 RUU KUHP. Isinya, (1) Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. (3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Ancaman diperberat apabila menghina lewat media sosial yang tertuang dalam Pasal 354 RUU KUHP. Bunyinya: “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.

Hukuman penghinaan menjadi lebih berat maksimal 3 tahun penjara apabila menimbulkan kerusuhan. Hal itu tertuang dalam Pasal 240 KUHP: “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Selain mengancam penghina pemerintah, RUU KUHP mengancam penghina Presiden/Wakil Presiden di media sosial dengan hukuman 4,5 tahun penjara. Ancaman ini paling tinggi dalam delik menghina pemerintah/lembaga negara. Hal itu tertuang dalam Pasal 219 RUU KUHP: “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Delik Aduan dalam KUHP

Secara yuridis, ketentuan dalam Pasal hina Presiden dan lembaga negara, dalam RUU KUHP, merupakan delik aduan/klacht delict. Karena delik aduan, aparat tidak bisa menindak apabila Presiden/Wapres tidak mengadu ke aparat kepolisian. Hal itu diatur dalam pasal 220 ayat 1 dan 2: (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Hal di atas secara normatif sejatinya adalah delik aduan dan disebutkan secara tegas mengkritik kebijakan pemerintah, bukan penghinaan. Pada konteks ini, bahwa kepala negara asing saja martabatnya dilindungi, maka kepala negara sendiri harusnya lebih memperoleh proteksi lagi, dengan ketentuan pasal yang mengatur tentang hal dimaksud. Artinya, bahwa pasal penghinaan lembaga negara di RUU KUHP juga merupakan delik aduan seperti yang tertuang dalam Pasal 353 ayat 3.

Pada perspektif lain, bahwa pada dasarnya istilah kejahatan juga biasa digunakan untuk tindak pidana kehormatan. Terlihat dari segi tujuan atau objek kejahatan, yaitu maksud atau tujuan pasal yakni untuk melindungi kehormatan, kejahatan kehormatan lebih tepat. Kehormatan/penghinaan adalah kejahatan yang menyerang hak-hak seseorang dalam bentuk merusak reputasi atau kehormatan mereka. Kebebasan berekspresi sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Pasal 28 E dan 28 F, tetapi pembatasan kebebasan ini telah dibangun di atas tradisi panjang melalui berbagai keputusan pengadilan dan produk.

Kejahatan menghina presiden dalam Bab II Buku II KUHP berkaitan dengan kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden. Bab ini awalnya terdiri dari 11 artikel, tetapi berdasarkan artikel VIII Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, 6 artikel dihapus karena mengatur keluarga kerajaan, yang tidak ada di Indonesia. Karena itu, hanya ada 5 pasal, yaitu pasal 131, pasal 134, pasal 136Bis, pasal 137 dan pasal 139. Sedangkan pasal menghina presiden dimuat dalam pasal 134, artikel 136Bis dan artikel 137. Ada juga pasal penghinaan bagi Presiden yang terkandung dalam RKUHP, yang diatur dalam pasal 263 dan 264, yaitu: Pasal 263: (1) Setiap orang yang secara terbuka menghina Presiden atau Wakil Presiden dijatuhi hukuman penjara maksimum 5 (lima) tahun atau denda Kategori IV maksimum. (2) Tidak merupakan penghinaan jika tindakan yang disebutkan dalam ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran atau untuk membela diri.

Ketentuan dalam Pasal 264: “Setiap orang yang mentransmisikan, memajang atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga dapat dilihat oleh publik atau mendengarkan rekaman sehingga publik mendengarnya, yang berisi penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud agar isi dari penghinaan itu diketahui oleh umum, dihukum penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda kategori IV maksimum”.

Pasal 263 dan pasal 264 RKUHP secara substansial sama dengan pasal 134, pasal 136Bis dan pasal 137 KUHP, yang juga mengatur pelanggaran pidana yang menghina Presiden. Untuk lebih jelasnya, pasal 134, pasal 136Bis dan pasal 137 KUHP, yaitu: Pasal 134: “Penghinaan yang disengaja dari presiden atau wakil presiden dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimum enam tahun atau denda maksimum empat ribu lima ratus rupiah”.

Ketentuan dalam Pasal 136Bis: menyebut tentang definisi penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 juga mencakup rumusan tindakan dalam Pasal 315, jika dilakukan di luar kehadiran dihina, apakah oleh perilaku di depan umum, atau tidak di depan umum dengan lisan atau tertulis , tetapi di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan keinginan mereka dan, karenanya, merasa tersinggung. Pasal 137: pertama, barang siapa yang menyebarkan, memamerkan, atau secara terbuka melampirkan tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden, dengan tujuan agar isi penghinaan diketahui atau lebih dikenal oleh publik, diancam dengan hukuman penjara maksimal satu tahun dan empat bulan atau denda maksimum empat ribu lima ratus rupiah. Kedua, manakala orang yang bersalah melakukan kejahatan pada saat melakukan pencariannya, dan pada saat itu belum dua tahun sejak hukuman menjadi permanen karena kejahatan tersebut, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Tulisan atau gambar yang dapat disiarkan, ditampilkan atau diterbitkan secara luas, selain majalah, surat kabar atau buku, adalah buletin atau spanduk (pengumuman pemerintah). Tetapi yang dimaksud di sini adalah menulis atau menggambar menghina Presiden, yang berarti bahwa penghinaan itu diketahui dan dipahami secara mendalam oleh publik.

Kiranya jelas, tulisan atau gambar yang dipahami di sini adalah majalah, koran, buku atau buletin. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel ini, tidak perlu membuktikan kejahatan, apakah orang yang melakukan kejahatan memiliki unsur yang disengaja atau tidak, tetapi sudah dapat dihukum, jika dia tahu isi tulisan atau gambar, bahwa tulisan itu atau gambar itu menghina. Presiden dan tujuan dari distribusi tulisan atau gambar adalah untuk menyampaikan kembali. Jaksa tidak perlu menunggu pengaduan dari Presiden, karena jaksa dan jaksa kasus pidana, karena jabatannya berhak dan wajib menuntutnya.

Pelanggaran pidana terhadap Presiden oleh anggota parlemen diatur dalam Pasal 134 KUHP, yang formulanya dalam bahasa Belanda setelah menyesuaikan perubahan yang ditentukan dalam Pasal 8 angka 24 UU Nomor 1 Tahun 1946.

Istilah belediging atau penghinaan dalam Bab XVI Buku II KUHP yang, menurut perumusan Pasal 311 KUHP, adalah serangan yang disengaja terhadap kehormatan atau reputasi orang lain, sebenarnya adalah momen generik atau sebutan umum dari beberapa tindakan penghinaan yang diatur sebagai samaad (menista secara lisan), smaadschrift (menista dengan perbuatan), laster (fitnah), eenvoudige belediging (penghinaan biasa), dan lasterlijke aanklag (keluhan atau laporan palsu). Untuk itu, agar seseorang dihukum sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 134 KUHP, paling tidak orang tersebut harus memenuhi ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 135 KUHP. Namun, karena penghinaan yang diatur dalam Pasal 134 KUHP memiliki sifat yang sangat diabaikan, perbedaan antara berbagai jenis kejahatan penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Bab XVI telah dihilangkan dalam kejahatan terhadap Presiden.

Sehubungan dengan pasal penghinaan ini, agar tidak disalahgunakan, diperlukan perbaikan yang dirumuskan sebagai kejahatan material atau formal dengan parameter yang jelas. Selain itu, untuk menghindari perbedaan dalam keputusan peradilan, perlu untuk menyelaraskan KUHP dan UU ITE sehubungan dengan ancaman sanksi pidana. Penerapan pasal-pasal tentang kejahatan penghinaan atau artikel tentang kejahatan penghinaan terhadap presiden telah disalahgunakan, yaitu untuk melindungi kepentingan pemerintah yang diwakili oleh presiden.

Konsep melindungi martabat presiden, bertujuan untuk melindungi kebijakan pemerintah dari kritik. Karena itu, siapa pun yang membuat kritik dan demonstrasi menentang pemerintah akan dianggap menghina presiden dan pada saat yang sama, dianggap anti-pemerintah. Oleh karena itu, pasal-pasal ini sering disebut dengan pasal-pasal lese majeste. Sesuai dengan praktik dan penggunaannya, lese majeste diartikan sebagai hukum yang bermaksud menempatkan pemimpin negara tidak bisa diganggu gugat, atau tidak boleh dikritik. ***

* Penulis adalah Notaris, Pengamat Sosial dan Hukum, Dosen STIH Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah

Be the first to comment

Tinggalkan Balasan