Jakarta, innews.co.id – Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka dibentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai wadah tunggal advokat di Indonesia.
Pembentukannya dilakukan oleh 8 organisasi advokat (OA) yang ada saat itu yakni, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Itu artinya, ke-8 OA punya andil yang sama atas terciptanya PERADI.
Setelah terbentuk, maka ke-8 OA tersebut punya hak yang sama untuk duduk sebagai Ketua PERADI, baik di tingkat pusat maupun cabang.
“Ketika sudah menjadi PERADI, maka tidak perlu lagi melihat asal-usul seseorang. Intinya, dia anggota PERADI. Artinya, dia punya hanya yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan menjadi Ketua PERADI, baik di pusat maupun cabang,” kata Henry Yosodiningrat, advokat senior yang juga salah seorang pendiri Ikadin, kepada innews, di Jakarta, Senin (9/10/2023).
Dia mengatakan, mungkin dari sisi kuantitas, Ikadin lebih banyak dari OA lainnya. Tapi bukan berarti Ketua PERADI harus didominasi oleh orang Ikadin saja. “Silahkan saja calon dari OA lain untuk maju. Bersainglah secara sehat. Begitu juga para advokat, jangan memilih hanya karena sama ‘bajunya’ secara histori. Ingat, semuanya sudah melebur ke dalam PERADI! Artinya, semua memiliki hak yang sama. Lihat saja, track records-nya. Kalau, si calon pernah jadi pengurus, lihat apa yang telah diperbuatnya selama ini. Kalau tidak ada, ngapain dipilih,” tegas Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) ini.
Dirinya miris bila ada upaya-upaya menghambat calon lain untuk maju. Misal, dengan memperlambat penerbitan kartu tanda anggota (KTA) kepada pihak-pihak yang disinyalir pendukung dari salah satu calon di luar Ikadin, sehingga namanya tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). “Saya mengutuk keras kalau itu sampai terjadi. Baik DPC, bahkan DPN sekalipun tidak layak melakukan seperti itu. Itu permainan kotor dan sangat tidak elegan,” ucap Anggota DPR RI periode 2014-2019 ini dengan nada tinggi.
Baginya, itu sifat pengecut yang tidak berani bertarung terbuka. “Kenapa harus takut? Kalau memang berani, tidak usah tempuh cara-cara kotor, menghambat sana-sini. Kalau memang sudah garis tangan memimpin PERADI, ya pasti jadi,” seru Founder Law Firm Henry Yosodiningrat & Partners ini.
Dia mempertanyakan, “Siapa yang menjamin kalau Peradi dipimpin oleh ‘alumni’ Ikadin akan lebih baik daripada dari OA lain? Begitu juga sebaliknya. Karena itu, paling fair, bertarung secara terbuka, jangan ada politik apa-apa”.
Henry menegaskan, Peradi pimpinan Prof Otto Hasibuan mengusung visi single bar. “Itu harus diterapkan mulai dari internal. Buktikan bahwa single bar itu nyata dari dalam. Jangan kita koar-koar, padahal di dalam ada oknum-oknum primordial dan maunya hanya dari OA yang sama dulunya,” cetusnya.
Diingatkan kembali, para anggota PERADI untuk tidak lagi melihat ke belakang, melainkan maju ke depan. “Bagaimana kita mau maju, kalau hanya terus melihat ke belakang. Lupakan ‘dosa-dosa’ lama. Kita sekarang semua di PERADI. Kita pilih calon-calon ketua yang benar-benar memperjuangkan single bar, bukan yang primordial,” ajaknya.
Henry mengingatkan hal tersebut, salah satunya karena dalam waktu dekat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PERADI Bandung akan mengadakan Musyawarah Cabang. Hal tersebut, bagi Henry, penting ditekankan agar para advokat lebih memahami bahwa kini semua sama-sama PERADI, tidak lagi memakai ‘baju’ masa lalu. (RN)
Be the first to comment